Sunday, June 10, 2007

Displaced Financing Risk Bagi Lembaga Keuangan (Perbankan) Syariah

Sebenarnya topik ini belum terdaftar dalam urutan materi yang akan saya wacanakan dalam blog, namun karena kemarin kesasar harus menjawab pertanyaan fresh gaduate waktu diskusi di kampus akhirnya saya putuskan untuk menulis tema ini di blog. Pertanyaannya adalah kenapa portfolio di bank syariah didominasi oleh murabahah dan ijaroh daripada musyarokah dan mudharabah, mungkin sesudah melihat neraca beberapa bank syariah atau unit usaha syariah beberapa waktu sebelumnya sehingga dia dapat bertanya seperti itu. Sebenarnya kondisi ini sudah berlangsung lama sehingga kadang mencuat sanggahan kepada mereka pelaku perbankan syariah kenapa tidak berani mengambil risiko untuk melakukan pembiayaan dengan skema bagi hasil daripada pembiayaan dengan skema margin/markup. Kalau saya melihat beberapa financial statement bank syariah dan unit usaha syariah memang terjadi perbedaan prosentase yang cukup besar antara pembiayaan yang dilakukan dengan pembiayaan dengan skema margin (murabahah dan ijaroh)dibanding dengan pembiayaan dengan basis akad bagi hasil (mudharabah dan musyarokah).

Sebagai contoh audited financial statement PT Bank Syariah Mandiri (BBSM-JSX) yang telah diaudit oleh Registered Public Accountant, pada tahun buku 2006 jumlah piutang murabahah Rp 4,188 triliun sedangkan jumlah pembiayaan mudharabah bersih setelah dikurangi dengan penyisihan kerugian Rp 1,107 triliun dan jumlah pembiayaan musyarokah bersih setelah dikurangi dengan penyisihan kerugian menunjukkan angka Rp 1,481 triliun. Sehingga dengan komposisi aktiva produktif tersebut komposisi pendapatan yang tersaji dari basis pembiayaan jual beli sebesar Rp 510 miliar, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil senilai Rp 310 miliar. Namun demikian sebenarnya keadaan sekarang ini sudah lebih baik daripada dahulu pada awal pembiayaan syariah diluncurkan. Seiring dengan waktu, sedikit demi sedikit bank mulai berani mengucurkan pembiayaan dengan pola investasi dan tidak melulu dengan pola jual beli atau sewa.

Kembali, showing yang saya coba ungkap dalam tema ini adalah mengapa lembaga keuangan syariah terutama perbankan syariah lebih nyaman bila menyalurkan portfolio dana nasabahnya melalui pembiayaan dengan akad jual beli atau sewa.
  • Pertama, dalam skema bagi hasil bank mempunyai risiko sangat tinggi untuk sama sekali tidak menerima bagi hasil dari nasabah yang dibiayainya. Hal ini dapat terjadi jika usaha nasabah yang dibiayai mengalami kerugian, meskipun bank masih berhak atas pengembalian pokok pinjaman. Akad musyarokah dan mudharabah menempatkan bank pada posisi yang berisiko karena secara syar’i yang dituangkan dalam akad, bank harus siap pula menanggung kerugian terhadap usaha nasabah yang dibiayainya. Namun demikian meskipun belum dikategorikan sebagai pembiayaan macet karena asumsinya nasabah masih dapat membayar pinjaman pokok, dari sisi ekonomis kerugian yang dimaksudkan oleh bank adalah dari sudut pandang waktu dan energi yang telah dikeluarkan. Demikian pula bank mengalami kerugian dalam bentuk kehilangan kesempatan lending kepada nasabah yang lain yang mempunyai prospek lebih bagus atas dana yang sama.
  • Kedua, dalam akad murabahah dan ijaroh bank memiliki proyeksi estimasi yang tinggi terhadap keuntungan yang akan diraihnya. Karena atas akad yang telah disepakati, prinsip murabahah mengijinkan untuk mengambil keuntungan atas barang yang dijual oleh bank kepada nasabah. Meskipun barang tersebut sebenarnya dipakai untuk usaha namun jika usaha yang dilakukan oleh nasabah mengalami penurunan, secara syar’i bank masih mempunyai hak atas keuntungan terhadap penjualan barang tersebut. Demikian pula atas prinsip ijaroh yakni sewa, bank memperoleh kepastian lebih besar untuk menangguk untung melalui angsuran pembayaran sewa setiap bulan yang diberikan oleh nasabah. Dalam akad sewa beli semasa belum lunas, maka hak kepemilikan barang tetap ada pada bank dan nasabah membayar biaya sewa bulanan. Namun ketika tenor pembiayaan sudah jatuh tempo maka kepemilikan barang berpindah ke nasabah. Dengan demikian semasa tenor pembiayaan belum selesai, bank memiliki kepastian yang lebih besar secara akad syar’i untuk mendapat keuntungan melalui uang sewa yang didapatnya.
  • Ketiga, atas keadaan tersebut di atas para pejabat marketing bank mulai dari level AO, Kabag. Marketing, Credit Remedial atau pejabat marketing lainnya lebih senang mengarahkan pembiayaan ke arah akad murabahah atau ijaroh, karena selain risikonya lebih rendah juga tidak membutuhkan penilaian kelayakan usaha yang dianggap terlalu ribet, membuang waktu dan membutuhkan kemampuan analisa tersendiri. Untuk memproses pembiayaan berbasis musyarokah dan mudhorobah memang relatif lebih lama dari segi waktu dan lebih membutuhkan energi yang lebih banyak. Karena harus mendalami benar kelayakan usaha yang akan dibiayai untuk menghindari risiko pembiayaan menjadi bermasalah atau setidaknya bank memperoleh keyakinan akan bagi hasil yang diproyeksikannya.
  • Keempat, akad murabahah dan sebagian ijaroh disasarkan kepada pembiayaan yang bersifat konsumtif. Pembiayaan konsumtif banyak diarahkan kepada nasabah berpendapatan tetap yang diwakili oleh karyawan atau pegawai negeri. Bahwa memang benar perbankan telah mengukur risiko yang akan dihadapi dengan menganggap nasabah berpendapatan tetap lebih kecil kemungkinannya untuk gagal bayar (default). Dibangun oleh analisa bahwa karyawan atau pegawai negeri sipil mempunyai pendapatan yang tetap setiap bulannya sehingga alokasi pengeluarannya pun relatif tidak akan bergejolak, merupakan salah satu elemen penilaian risk management. Berbeda dengan pembiayaan dengan akad musyarokah atau mudhorobah yang nilai bagi hasilnya bisa naik turun sesuai dengan pendapatan usaha yang diterima oleh nasabah. Pola re-payment seperti ini dianggap lebih berisiko bagi perbankan karena fluktuatifnya nilai keuntungan menyebabkan perbankan lebih sulit untuk forecasting pada pembiayaan model bagi hasil.
  • Kelima, lembaga keuangan syariah terutama mikro syariah terkadang memiliki sedikit keraguan terhadap besaran pendapatan usaha yang dilaporkan oleh nasabah yang nantinya akan dibagihasilkan. LKS yang tidak dapat memonitor operasional terutama kinerja keuangan nasabahnya cenderung akan menerima begitu saja nilai bagi hasil yang diperolehnya. Apalagi kalau ternyata LKS tidak begitu menguasai jenis usaha yang dibiayainya. Sehingga cukup beralasan pula dari segi risk manajemen apabila LKS sangat-sangat selektif untuk memilih jenis usaha yang akan dibiayai, karena adanya tuntutan untuk bisa menguasai seluk beluk jenis industri tersebut sehingga tidak dapat dibohongi begitu saja terhadap perhitungan bagi hasil yang disajikan oleh nasabahnya.
Namun demikian keadaan sekarang telah berubah sedikit demi sedikit karena perbankan syariah sudah mulai lebih berani mengaplikasikan konsep bagi hasil dalam pembiayaan yang diberikan. Seperti data yang dirilis berdasarkan data statistik bank sentral pembiayaan konsumsi menurun sejak bulan Februari 2007. Saat itu kredit konsumsi mencapai Rp 5,96 triliun, namun pada Maret turun menjadi Rp 5,46 triliun dan pada April kembali melandai menjadi Rp 5,33 triliun. Sementara kredit investasi serta modal kerja terus mengalami peningkatan. Pembiayaan investasi naik dari Rp 4,32 triliun bulan Maret menjadi Rp 4,64 triliun pada April. Kemajuan pembelajaran nampaknya telah dialami oleh para punggawa pembiayaan dengan telah diresapnya dengan baik risk management sehingga pola pengukuran risiko nasabah bisa diketahui dengan lebih tajam, mudah dan akurat.

Mungkin akibat didorong pula oleh kebijakan pemerintah yang selalu mendorong perbankan untuk melaksanakan fungsi intermediasi sepenuhnya membuat perbankan syariah lebih terdorong secara moral untuk bergerak lebih cepat. Pembiayaan usaha yang disalurkan akan tetap selektif dikarenakan selain tuntunan risk management juga tuntutan syar'i bahwa pembiayaan yang diberikan harus diinvestasikan kepada jenis usaha atau industri yang terbebas dari unsur haram baik dari sudut pandang produk, cara memproduksi, maupun cara pemasaran. Akhirnya kita dapat berharap optimis terhadap perbankan syariah untuk menjadi leader bagi kalangan perbankan lainnya guna memberikan pembiayaan investasi/modal kerja daripada sekedar pembiayaan berbasis konsumtif.

1 comment:

Template Designed by Douglas Bowman - Updated to New Blogger by: Blogger Team
Modified for 3-Column Layout by Hoctro