Saturday, September 29, 2007

Pengakuan Pendapatan (Revenue Recognition) dalam Akuntansi Syariah pada Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)

Kemarin siang ada sedikit diskusi saya dengan kolega, Manager Finance & Treasury untuk setting up pencatatan dan pelaporan keuangan unit usaha yang baru didirikan. Karena sudah terbiasa dengan cash basis yang dijalani sehari-hari melalui transaksi syariah, pada awalnya beliau sedikit agak kesulitan untuk menemukan logically bridging bagaimana menentukan pengakuan pendapatan dalam transaksi unit usaha yang berbeda klasifikasi dan perlakukan akuntansinya dengan jasa keuangan syariah. Namun setelah saya berikan sedikit penjelasan, prinsip cut-off, kesinambungan transaksi masa lalu serta masa depan dan kepentingan analisa maka kami menemukan titik simpul bahwa accrual basis akan diterapkan penggunaannya dalam revenue recognition pada unit usaha baru yang akan dirikan.

Apa yang kami lakukan setiap hari di Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Beringharjo Yogyakarta adalah memenuhi secara syariat atas segala aktivitas yang digelar dalam sendi ekonomi syariah. Pedoman yang kami gunakan untuk mengukur parameter ekonomis dituangkan dalam kerangka yang mengacu kepada syariat islam. Terutama bagi kita adalah penting mengetahui bagaimana cara perhitungan dan pengakuan pendapatan, yang selanjutnya akan masuk dalam proses distribusi pendapatan yang akan kita berikan sebagai bagi hasil (sebagai satu permisalan). Pola perhitungan pendapatan yang bagaimana yang harus dilalui oleh sebuah transaksi agar dapat memenuhi ketentuan sharia compliance akan kita kupas satu persatu di bawah ini.

Demikianlah penting bagi kita untuk mengklasifikasikan jenis transaksi apa saja yang dilakukan oleh lembaga berbasis ekonomi syariah. Ditarik ke belakang, jenis transaksi tentunya mengacu kepada akad yang disepakati di awal. Secara garis besar transaksi dalam perspektif eknomi syariah dibagi menjadi 2 yakni tabarru'/kebaikan (non profit transaction) dan tijarah/komersial (profit transaction). Transaksi dengan akad tabarru' adalah transaksi dimana kita tidak boleh mengambil manfaat/keuntungan/tambahan darinya. Sedangkan terhadap transaksi tijarah seperti jual beli, sewa, atau sewa beli kita diperkenankan untuk mengambil keuntungan dari transaksi tersebut dalam bentuk margin. Sedangkan terhadap transaksi usaha atau investasi, kita diperkenankan untuk mengambil keuntungan dari transaksi tersebut dengan pola bagi hasil. Agar lebih spesifik, maka pendalaman selanjutnya dari diskusi kita kali ini akan diarahkan kepada pembahasan kepada transaksi-transaksi tijarah. Keuntungan berdasarkan transaksi tijarah dapat diambil dari dua pola, yakni pola margin dan pola bagi hasil. Pola margin dapat diterapkan kepada akad murabahah (jual beli), akad ijarah (sewa), dan akan ijaroh muntahiya bi tamlik (sewa beli). Sedangkan pola bagi hasil dapat diwujudkan dari transaksi yang mempergunakan akad musyarokah, mudharabah, musytarokah, muzara'ah, dan musaqah. Prinsip musyarokah mengambil porsi lebih dari 99% dibandingkan dengan prinsip akad bagi hasil lainnya.

  • Murabahah
Adalah jual beli barang dengan harga pokok yang ditambah dengan tingkat keuntungan tertentu yang disepakati. Lembaga dalam hal ini diposisikan sebagai penjual sedangkan nasabah diposisikan sebagai pembeli. Penjual harus memberitahukan kepada pembeli berapa harga pokok barang yang akan dijual tersebut. Kemudian atas harga pokok tersebut penjual meminta keuntungan dalam jumlah tertentu yang dapat melalui proses tawar menawar dan disepakati sebagai sebuah tingkat margin. Murabahah dapat dilakukan dengan prinsip tunai, prinsip angsuran, atau prinsip jatuh tempo. Sebagian besar murabahah dilakukan melalui prinsip pesanan walaupun tidak menutup kemungkinan adanya jual beli tanpa didasarkan atas pesanan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya KJKS bukan sebagai produsen barang, namun lebih bersifat sebagai pedagang yang harus mencarikan barang pesanan tersebut kepada para produsen atau supplier yang biasanya memproduksi atau menjual barang tersebut terhadap pesanan yang diminta oleh nasabah. Jamak pula diterapkan bahwa penjual dalam hal ini KJKS dapat meminta adanya uang muka dari pembeli. Tidak dimungkiri adanya standar keuntungan dalam tingkat tertentu yang didasarkan terhadap target yang harus dicapai, namun demikian hal tersebut merupakan langkah masyruk yang diperbolehkan dalam syariat Islam.
Satu contoh transaksi murabahah coba kita kupas di sini. Pak Adnan berencana untuk membeli sebuah Laptop seharga Rp 5.000.000,-. Beliau telah mencatat spesifikasi laptop yang diinginkan melalui sebuah pameran yang dilihatnya. Atas pesanan tersebut BMT melakukan pembelian tunai kepada penjual laptop seharga Rp 5.000.000,-. BMT kemudian mengkomunikasikan harga beli tersebut kepada mitra, dan menginformasikan tingkat keuntungan yang diminta yakni sebesar Rp 1.200.000 dengan demikian harga jual laptop tersebut dari BMT kepada mitra adalah Rp 6.200.000,-. Kedua belah pihak bersepakat bahwa mitra akan melakukan pembayaran secara angsuran selama 12 bulan. Pencatatan yang dilakukan terhadap transaksi tersebut pada langkah pertama BMT harus membukukan Persediaan Barang Murabahah Rp 5.000.000,- terhadap Kas atas pembelian laptop yang dilakukannya kepada vendor laptop. Kemudian atas transaksi pembiayaannya, BMT mendebetkan rekening Piutang Murabahah sebesar Rp 6.200.000,- terhadap rekening kredit Persediaan Barang Murabahah Rp 5.000.000,- dan Pendapatan Murabahah Rp 1.200.000,-. Titik yang paling penting dalam pengakuan pendapatan dalam transaksi murabahah ini adalah bahwa secara syar'i pengakuan pendapatan sebesar Rp 1.200.000,- sudah dapat dan diperkenankan untuk dilakukan. Secara syar'i pula terjadi proses pembelian dan penjualan barang yang dilakukan oleh BMT. Angka keuntungan diperoleh bukan merupakan cerminan dari ziyadah (riba yang dipertambahkan atas harga pokok pembelian barang). Secara ketentuan syariat, bahwa harga Rp 6.200.000 harus dibayar secara penuh sehingga dengan demikian Rp 1.200.000 sudah dapat dipastikan, diakui, dan dicatat sebagai Pendapatan Murabahah. Piutang Murabahah tersebut diangsur selama 12 bulan dengan besar cicilan per bulannya Rp 517.000,-

Ijarah
Selain murabahah transaksi tijaroh yang mendapatkan keuntungan dengan pola margin adalah Ijaroh. Ijaroh adalah transaksi sewa di mana pihak BMT adalah pihak yang menyewakan sedangkan mitra dalam hal ini adalah pihak yang menyewa. Transaksi ijaroh dapat diwujudkan dalam 2 hal yakni ijaroh terhadap barang dan sewa atau jasa dan upah. Transaksi dalam sewa rumah atau sewa kantor dapat dikategorikan sebagai Ijaroh terhadap barang. Sedangkan biaya pengobatan, biaya pendidikan, atau biaya pernikahan dapat dikelompokkan sebagai transaksi Ijaroh Jasa. Contoh dapat kita kupas di sini, bahwa Pak Andri membutuhkan biaya pendidikan untuk memasukkan anaknya ke perguruan tinggi. Total biaya yang harus dikeluarkan senilai Rp 10.200.000,- hal ini dapat dilihat dari rincian tagihan pembayaran yang dikeluarkan oleh bagian akademik. Pak Andri mengajukan pembiayaan ke BMT dengan kesanggupan angsuran selama 12 bulan. Terhadap pembiayaan tersebut, BMT meminta ujrah (fee) sebesar Rp 1.224.000,- dengan demikian total yang harus dibayarkan oleh Pak Andri sebesar Rp 11.424.000,-. Nilai tersebut akan diangsur selama 12 bulan sehingga besarnya angsuran per bulan adalah Rp 952.000,-. Kali pertama pencatatan dilakukan terhadap pembayaran yang dilakukan oleh BMT kepada bagian akademik dengan pembukuan Aktiva Ijaroh terhadap Kas senilai Rp 10.200.000,-. Kemudian pada saat pencairan pembiayaan pencatatan yang dibuat oleh BMT adalah Piutang Ijaroh Jasa sebesar Rp 11.424.000,- terhadap Aktiva Ijaroh sebesar Rp 10.200.000,- dan Pendapatan Ijaroh sebesar Rp 1.224.000,-. Atas fee yang diminta yakni sebesar Rp 1.224.000,- BMT sudah dapat mengakuinya sebagai pendapatan karena sifatnya sudah pasti harus diterima.

Transaksi ketiga dari konsep Tijaroh dengan keuntungan berbasis margin adalah Ijaroh Muntahiya Bit Tamlik (IMBT). Transaksi tersebut hampir sama dan merupakan turunan dari Ijaroh dan Murabahah, namun perbedaan terletak pada hak kepemilikan barang. Ijaroh tidak disertai dengan berpindahnya hak kepemilikan barang, sedangkan Murabahah pemindahan hak kepemilikan barang dilakukan di awal. Namun tidak halnya dengan IMBT, bahwa di IMBT terdapat pengalihan hak kepemilikan yang mana hak kepemilikan tersebut baru berpindah setelah seluruh angsuran selesai dibayarkan. Secara fiqh, Murabahah dan Ijaroh menafikan keadaan finansial mitra, sehingga dalam keadaan apapun mitra atau nasabah harus tetap membayar angsuran pokok dan angsuran margin. Secara syar'i memang demikian adanya, karena itulah prinsip jual beli dan sewa. Pemikiran itulah yang akhirnya mendasari mengapa revenue recognition untuk akad Murabahah dan Ijaroh sudah dapat diakui, dicatat dan dibukukan di awal periode. Nilai angsuran yang dibayar tiap bulan terdiri dari komponen angsuran pokok dan angsuran margin dimana angsuran margin berasal dari total keuntungan yang disepakati di awal dibagi dengan jumlah bulan kesediaan untuk mengangsur.

Musyarokah
Bertolak belakang dengan pengakuan pendapatan dengan basis margin, maka pengakuan pendapatan dengan pola bagi hasil tidak diperkenankan ditentukan di awal. Musyarokah adalah transaksi dengan pola keuntungan bagi hasil yang paling banyak dipergunakan oleh lembaga kami. Musyarokah secara sederhana dapat diartikan sebagai penyertaan modal kepada usaha yang sudah berjalan. Pelaku usaha juga dipersyaratkan untuk memiliki modal sendiri selain diposisikan juga sebagai pengelolanya. Musyarokah tidak memperkenankan adanya pengakuan pendapatan di awal periode. Sifat dari musyarokah yang melekat bahwa setiap usaha pasti mempunyai risiko adalah hal yang mendasari hal tersebut. Yang ditetapkan di awal periode hanyalah sebatas nisbahnya saja (dalam satuan prosen). Sedangkan proses distribusi pendapatan diberikan sesuai dengan nisbah yang dikalikan dengan sisa hasil usaha. Yang dapat dipastikan dibayar tiap bulan adalah angsuran pokoknya saja. Dalam skema musyarokah tidak dikenal adanya angsuran margin, tidak dikenal pula adanya angsuran bagi hasil karena pada dasarnya bagi hasil yang diberikan kepada peserta musyarokah berfluktuatif tergantung sisa hasil usaha yang diperoleh. Sebagai contoh, Pak Radit mengambil fasilitas pembiayaan Musyarokah di BMT Beringharjo senilai Rp 6.000.000,- dengan pengembalian pokok bulanan selama jangka waktu 24 bulan. Nisbah yang disepakati adalah 75:25 yakni 75% dari sisa hasil usaha diperuntukkan bagi Pak Radit sedangkan 25% sisanya diberikan untuk BMT Beringharjo. Dari transaksi tersebut yang dicatat di awal pembukuan hanya Pembiayaan Musyarokah terhadap Kas sebesar Rp 6.000.000,- sehingga tampak perbedaannya dengan pencatatan pembukuan dengan konsep margin dimana di awal pencatatan sudah dapat dibukukan Pendapatan Murabahah atau Pendapatan Ijaroh. Tiap bulan Pak Radit berkewajiban untuk melakukan angsuran pokok sebesar Rp 250.000,- dan memberikan bagi hasil kepada BMT Beringharjo sebesar 25% dari keuntungan pendapatan modal yang diikutsertakan oleh BMT Beringharjo.

Tampak jelas perbedaan pengakuan pendapatan dari masing-masing akad yang disepakati. Bagi konsep keuntungan berdasarkan margin (Ijaroh dan Murabahah) berlaku prinsip Accrual Basis dimana pendapatan dicatat dan dibukukan pada saat jasa, manfaat, atau barang diserahkan. Nilai keuntungan sudah dapat dipastikan di awal, sedangkan angsuran bulanan merupakan perwakilan dari cara pembayarannya. Namun demikian tidak halnya dengan Musyarokah yang harus berlaku prinsip Cash Basis. Bagi Musyarokah yang menganut keuntungan berdasarkan bagi hasil adalah tidak mungkin untuk mencatat keuntungan di awal karena tidak ada kepastian jumlah yang harus dicatat dan memang tidak boleh memastikan terhadap keuntungan yang akan diraih. Kiranya memang demikian yang lebih adil bagi konsep usaha karena sifat yang lebih adil dan mencerminkan pembagian risiko yang lebih proporsional antara pemilik dana.

Baca Lanjutannya...

Monday, September 24, 2007

Tinjauan Manajemen Risiko dalam Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dengan bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah

Sekalian saja dari hulu ke hilir, sejak saya tuliskan Risk Management, Trade Off Between Risk and Opportunity dan Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) pada bulan lalu beberapa rekan diskusi di alam maya meminta kesediaan saya untuk menuliskan lebih implementatif lagi mengenai penerapan manajemen risiko dalam skala lebih mikro beserta segala adaptasi dan tolerasinya terhadap prinsip sama yang telah diberlakukan oleh perbankan. Mereka menganggap apa yang saya tulis masih berada di awang-awang dan belum terlalu "down to earth". Akhirnya dengan memadukan apa yang sehari-hari saya telisik di kantor saya pikir berkesesuaian juga seandainya saya melihat segala kemungkinan dari penjabaran manajemen risiko dalam Baitul Maal Wat Tamwil dengan bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS).

Sebagai salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang diatur keberadaannya melalui undang-undang, KJKS mempunyai usaha inti dan bergerak dalam kegiatan simpan pinjam. Mengumpulkan dana dari masyarakat berupa jasa simpanan dan memberikan jasa pembiayaan dengan segmentasi khusus masyarakat pada skala usaha dan kebutuhan konsumsi klasifikasi menengah kecil. Berhadapan dengan risiko tentu merupakan satu hal yang harus dihadapi namun demikian hanya lembaga yang sudah menerapkan manajemen risiko dengan baik yang dapat mewujudkan kesempatan menjadi keuntungan. Refers to my recent posting, karena perbankan sudah mempunyai cetak biru tentang manajemen risiko maka tidak ada salahnya prinsip tersebut kita jadikan pijakan untuk digunakan pada KJKS dengan segala konsekuensi tinjauannya. Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, dan Risiko Stratejik merupakan risiko yang akan kita perdalam pertama kali dalam pembahasan kali ini karena risiko tersebut menurut pandangan penulis dapat diadopsi sepenuhnya untuk diterapkan dalam KJKS.

Posisi dalam memandang likuiditas antara entitas perbankan dan KJKS dapat dipersamakan pada beberapa hal sebagai berikut :
Lembaga harus memonitor dan dapat memelihara eksposure dan struktur simpanan. Struktur pendanaan dan komposisinya berperan penting dalam pemantauan likuiditas. Simpanan masyarakat dalam bentuk berjangka tentunya lebih bisa diprediksi pencairannya daripada simpanan biasa yang dapat diambil sewaktu-waktu. Struktur simpanan juga berpengaruh terhadap biaya dana yang harus dikeluarkan. Meskipun secara global pengamatan terhadap cost of fund (CoF) dapat dilakukan secara cepat, namun pemilahan biaya dana yang timbul dari berbagai jenis pendanaan perlu diamati secara terperinci. Lembaga harus mengamati potensi dan kecenderungan adanya penarikan terbesar dalam satu jangka waktu tertentu. Berdasarkan observasi atau pengalaman yang telah pernah terjadi, lembaga sudah harus memprediksikan kebutuhan likuiditas yang harus dipenuhi untuk mengantisipasi adanya kejadian yang tidak diinginkan. Apabila perlu, worst case scenario harus disusun sebagai contingency plan bagi lembaga agar tidak timbul gejolak yang dapat mempengaruhi stabilitas operasional. Terhadap contingency funding plan yang telah disusun harus diujicobakan secara berkala untuk menentukan jumlah dana yang dapat diperoleh dari regular counterparty atau pendanaan dari pasar dengan skenario tanpa jaminan. Lembaga harus melakukan kaji ulang terhadap pola hubungan dengan nasabah, diversifikasi jenis jasa simpanan, dan kemampuan untuk menjual aset likuid, dan harus dapat memperkirakan jumlah dana yang dapat diperoleh dari pasar dalam kondisi normal ataupun sebaliknya.

KJKS juga tidak terlepas dari permasalahan yang melibatkan risiko operasional. Pada beberapa lembaga yang belum memiliki standar prosedur tetap pembiayaan, kegiatan untuk melemparkan dana ke masyarakat tentu memiliki risiko yang sangat tinggi. Bahkan pada beberapa lembaga yang sudah memiliki garis aturan main yang jelas terhadap pembiayaan masih saja terjadi kesalahan yang berakibat pada gagalnya fungsi pembiayaan. Contoh yang paling mudah dan sederhana adalah ketidaktajaman analisa oleh marketing terhadap kelayakan usaha atau overvalued yang diterapkan pada penilaian jaminan. Dalam cakupan akuntansi, kesalahan alokasi biaya, salah posting, dokumentasi bukti transaksi, repetitas transaksi yang sangat tinggi merupakan beberapa aktivitas yang perlu dimonitor secara berkala. Pada beberapa KJKS yang melakukan sistem "jemput bola" dalam mengadakan pelayanan, rentan terhadap kegagalan proses keuangan dan administrasi. Lupa atau salah catat transaksi, lupa atau salah hitung transaksi, kehilangan efektivitas waktu dan tenaga tidak dapat dipungkiri sebagai perwujudan dari risk operational archieve dari KJKS. Sistem jemput bola mengakibatkan pula kemungkinan terjadinya overdraft dan selisih marketing yang tinggi, namun untuk hal seperti ini lembaga melakukan risk sharing dan risk transfer kepada karyawan dengan klasifikasi kejadian tertentu. Proses backup data yang tidak dilakukan secara benar; terlewat waktu, salah ambil data, salah simpan, atau kegagalan proses recovery juga mempunyai andil besar dalam pemahaman risiko operasional KJKS. Dalam bidang pembiayaan, aspek dokumentasi terhadap file pembiayaan akan menjadi salah satu yang krusial ketika setiap lembar kertas bagian dari proses tersebut tidak didokumentasikan dengan benar. Penyimpanan, arsipatoris, ataupun mutasi bukti kepemilikan barang jaminan merupakan salah satu praktek dari penjelasan tersebut. Proses yang melibatkan aktivitas simpanan juga tidak luput terbebas dari risiko-risiko yang bisa menimbulkan efek terhadap operasional. Proses penyesuaian (dan penelusuran) yang tidak dilakukan dengan tuntas apabila diperlukan, terhadap perbedaan catatan antara sistem dengan buku simpanan sebagai akibat dari transaksi jemput bola akan mengakibatkan ketimpangan informasi yang disajikan kepada pemilik simpanan. Ketika seharusnya surat pemberitahuan atau surat peringatan sudah harus dikirimkan dengan melihat pada tingkat kolektibilitas yang ada, namun karena faktor lupa, tidak mengupdate secara berkala informasi kolektibilitas, atau menunda pemberiannya dengan alasan lain merupakan kejadian yang dapat meningkatkan penilaian risiko operasional.

Segala bentuk entitas yang menjalankan bisnis mau tidak mau pasti dihadapkan pada kemungkinan untuk mengalami masalah yang berpangkal tolak dari dan kepada hukum. Merupakan sebuah keuntungan ada label syariah yang menaungi KJKS, sehingga paling tidak niat untuk islah selalu dikedepankan dalam menghadapi beda pendapat. Permasalahan hukum bisa berasal dari arah mana saja yang kadang kurang diprediksi di awal. Bisa jadi akibat pembiayaan bermasalah yang akhirnya membutuhkan penyelesaian melalui jalur litigasi ketika proses musyawarah dan parate eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Di pihak lain aspek legalitas lembaga merupakan suatu pondasi dasar yang harus ditegakkan ketika lembaga tidak ingin bermasalah dan terjerembab dalam ranah hukum karena ketidaklengkapan legalisasi yang dimiliki. Perlu dipertimbangkan secara khusus karena dalam kurun waktu terakhir ini persoalan legalitas kerap sekali membawa lembaga bisnis yang berbentuk koperasi ke meja hijau. Ambiguisitas terhadap permasalahan status anggota dengan adanya status abadi calon anggota juga merupakan persoalan yang akan selalui terus menerus dialami karena memang perundangan yang dianut mengisyaratkan bahwa yang dapat dilayani adalah anggota, namun pada prakteknya sangat tidak mungkin kalau hanya melayani anggota dan dapat dipastikan lembaga tidak akan pernah bisa maju kalau hanya melayani anggota saja. Gugatan yang dialamatkan kepada lembaga dapat pula menjadi perkara yang berbahaya seandainya hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya. Salah satu sebab munculnya gugatan kepada lembaga adalah ketika tidak lengkapnya penilaian yang dilakukan terhadap jaminan. Lembaga menerima jaminan sebuah sertifikat tanah yang berdiri di atasnya bangunan. Namun bangunan tersebut dibangun bukan oleh pemilik tanah namun oleh pihak ketiga, sehingga ketika tanah akan dieksekusi pemilik bangunanpun yang merasa membangun mengajukan gugatan kepada lembaga. Permasalahan hukum bisa juga terjadi karena pengikatan agunan yang tidak sempurna. Tanah, kembali menjadi sebuah contoh kasus; sebuah pembiayaan menggunakan tanah sebagai jaminannya. Tanah tersebut masih atas nama orang tua peminjam. Tidak ada tanda tangan lepas waris dari saudara sekandung seperti yang telah dipersyaratkan. Ketika pembiayaan menjadi bermasalah dan akan dieksekusi agunannya, timbul sengketa dan gugatan dari saudara kandung lainnya tatkala mereka menyangkal bahwa mereka setuju tanah orang tua mereka dijaminkan oleh saudaranya. Dan masih banyak lagi contoh kasus yang dapat timbul dan bermuara kepada permasalahan hukum.

Risiko reputasi, dapat hinggap sewaktu-waktu terhadap lembaga keuangan baik berbentuk bank ataupun bukan bank. Erat kaitannya dengan hal ini adalah penilaian kepercayaan yang diberikan nasabah kepada lembaga. Rumor dan berita negatif baik yang berasal dari kalangan internal lembaga maupun pihak luar acap kali membawa lembaga berada dalam kondisi reputasi yang negatif. Pun itulah yang akhirnya membawa pemerintah menciptakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan memberikan jaminan kepada nasabah dengan nilai simpanan tertentu. Hal ini dilakukan pemerintah untuk mengurangi risiko jatuhnya reputasi dunia perbankan. Sebab dengan jatuhnya reputasi perbankan tamat pula perekonomian negara, yang mau tidak mau harus kembali ke titik nihil seperti yang dialami negara ini beberapa waktu lalu seiring dengan krisis ekonomi yang juga melanda kalangan perbankan. Bagi KJKS, sisi penilaian reputasi menjadi semakin lebih berat karena posisi dan status koperasi tidak terbantahkan berada di bawah posisi dan status perbankan. Sebagai sesama lembaga yang sama-sama bergerak dalam jasa inti simpan pinjam, kepercayaan masyarakat menjadi dasar terbentuknya reputasi positif bagi lembaga. Tidak ada lembaga penjamin simpanan bagi KJKS seperti layaknya LPS bagi perbankan mau tidak mau juga menimbulkan permasalahan reputasi tersendiri bagi KJKS. Tidak adanya pengawas yang mampu mengawasi secara rigid dan kontinyu terhadap operasional KJKS seperti mana layaknya BI mengawasi perbankan membuat masyarakat belum sepenuhnya meletakkan kepercayaan kepada KJKS. Berita yang beruntun dalam suatu masa yang menyebutkan banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh LKBB berbadan hukum koperasi mau tidak mau membuat pengurus dan pengelola KJKS harus bekerja ekstra keras agar risiko reputasi yang ada dan melekat pada KJKS dapat dihindari seminimal mungkin.

Seperti layaknya risiko reputasi, risiko stratejik merupakan risiko berlatar belakang manajemen yang bisa menghinggapi entitas bisnis apapun. Risiko stratejik dapat muncul apabila lembaga tidak melakukan perencanaan strategis, atau terlambat melakukan perubahan strategi dikarenakan lapuk atau usangnya strategi yang sedang dijalankan. Pada lingkungan bisnis, perubahan dapat terjadi dalam segala aspek tanpa dapat diduga-duga sebelumnya, dari mulai perubahan segmentasi pasar, perubahan strategi marketing, perubahan produk, perubahan struktur captive market, perubahan di bidang sumber daya manusia, maupun bentuk-bentuk perubahan lainnya. Manajemen sebenarnya telah menerapkan strategi di awal tahun untuk mengantisipasi gejolak yang mungkin timbul dari perubahan tersebut. Namun yang kurang disadari dan disesuaikan dengan cepat oleh manajemen adalah apabila keadaan yang terjadi tidak sesuai dengan skenario yang telah diprediksikan, sehingga keadaan tersebut memaksa manajemen untuk merubah haluan dengan mengganti strategi. Pada titik krusial inilah risiko strategi dapat muncul karena kurang tanggap dan kurang cepatnya manajemen melakukan "strategy refreshing". Sederhana, sebagai sebuah contoh manajemen seharusnya secara cepat merubah cara dan segmentasi funding ketika sudah dirasa model dan pola yang digunakan sudah pada tahap stagnasi dan mencapai titik lelah. Demikian pula respek manajemen terhadap marjin dan nisbah bagi hasil yang ternyata harus dirubah seakan menjadi pisau bermata dua bagi para pengambil keputusan. Apabila manajemen secara cepat tanggap mampu melakukan perubahan strategi dengan bersedia untuk menurunkannya maka pisau tersebut akan menjadi senjata untuk mengungguli lawan-lawan, namun apabila ternyata langkah yang seharusnya diambil namun dilakukan terlambat atau malah justru tidak dilakukan maka pisau tersebut akan berbalik membunuh kita sendiri dengan kurang tanggapnya kita menyesuaikan haluan untuk merubah strategi.

Meskipun sudah ada guideline yakni cetak biru perbankan mengenai manajemen risiko, namun masih saja banyak KJKS yang enggan untuk mencoba menerapkannya. Alih-alih untuk menerapkan, mencoba belajar saja susahnya minta ampun, mungkin dianggap kurang bermanfaat atau masih terlalu muluk-muluk bagi mereka sehingga pemanfaatan manajemen risiko untuk mengolah risiko menjadi opportunity enggan dilaksanakan. Tidak ada salahnya untuk segera memperkenalkan platform manajemen risiko kepada manajemen anda, karena tidak ada yang negatif ataupun sia-sia dari pemanfaatannya. Apalagi ketika dunia bisnis makin kompleks dan semakin menuntut adanya aware terhadap berbagai hal baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung terhadap operasional lembaga, hingga keadaan tersebut menyiratkan adanya kebutuhan mengenai manajemen risiko yang harus segera diaplikasikan.

Baca Lanjutannya...

Friday, August 31, 2007

Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

Kurang puas rasanya kalau hanya menulis artikel manajemen risiko dalam satu kesempatan. Setelah artikel terdahulu saya mencoba sedikit berbicara mengenai adanya imbal balik antara kesempatan dan peluang yang ingin diraih dengan risiko yang ditanggung, dalam kesempatan ini kita mencoba belajar untuk masuk ke hal yang sedikit lebih dalam, yakni manajemen risiko ditinjau dari praktek Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Menarik untuk disimak bahwa lembaga keuangan mikro syariah sudah menjamur dan dalam masa tumbuh berkembang namun masih sedikit sekali atau kalau boleh dikatakan agak berani belum ada model manajemen risiko secara baku yang diterapkan seragam untuk jenis jasa yang sama.

Tidak dapat dipisahkan dari tinjauan harafiahnya bahwa terdapat beberapa pilar yang menjadi konstruktor berdirinya manajemen risiko untuk LKMS. Yang pertama, kita sepakat tentunya untuk menganggap LKMS sebagai salah satu wujud lembaga keuangan yang mempunyai jasa simpanan dan pembiayaan. Jasa simpanan dan pembiayaan yang diberikan mirip atau bahkan dapat dikatakan sama dengan jasa yang diberikan oleh jasa perbankan pada umumnya. Dengan demikian risiko-risiko yang dimiliki oleh perbankan ada yang nantinya diadaptasi oleh LKMS. Sesuatu yang sangat wajar kiranya apalagi selama ini beberapa operasional masih mengacu kepada praktek yang dilakukan oleh kalangan perbankan. Untuk beberapa kali kesempatan tidak canggung pula dipergunakan istilah “small and micro banking” untuk memberikan sematan kepada LKMS. Meskipun sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) namun LKMS justru paling mirip operasionalnya dengan bank dibanding LKBB lainnya. Konstruksi kedua yang membangun manajemen risiko LKMS adalah cakupan kegiatan jasa yang dilakukan yakni sektor Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM). Beberapa pertimbangan yang menyangkut risiko perlu dicermati dengan seksama ketika ada perlakuan yang berbeda ketika jasa harus diberikan kepada sektor UMKM. Melihat prinsip 5C sebagai penerapan kebijakan yang sehat dalam pemberian pembiayaan, mau tidak mau kita harus bisa melihat pula perbedaan antara karakter UMKM yang akan kita biayai dengan karakter dengan nasabah perbankan biasa. Demikian juga ketika penilaian jaminan, tentunya kita tidak dapat mengaplikasikan seluruh ketentuan penjaminan agunan yang diterapkan oleh perbankan. Ada risiko yang perlu dimainkan dan disepakati bersama karena yang kita layani adalah UMKM. Demikian juga apabila ketika melihat unsur pembangun ketiga dari manajemen risiko LKMS yakni sharia compliance atau kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah yang telah ditetapkan. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dipergunakan sebagai saringan yang paling membedakan dengan berbagai jenis penyedia jasa layanan keuangan lainnya. Pembiayaan dan simpanan yang dilakukan harus berdasar atas prinsip-prinsip syariah. LKMS mempunyai risiko terhadap pandangan ini yakni ketika masyarakat masih perlu mendapatkan edukasi lagi sehingga dengannya menjadi paham. Pemahaman dari masyarakat dibutuhkan agar masyarakat bisa tahu jenis kebutuhan mereka mana saja yang dapat dilayani oleh LKMS dan dengan akad bagaimana kebutuhan mereka dapat dipenuhi.

Untuk memudahkan belajar bersama mari kita coba lihat terlebih dahulu mengenai pedoman standar penerapan manajemen risiko bagi bank yang mencakup :
  • Risiko Kredit, yakni risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) untuk memenuhi kebutuhannya dalam melakukan pembayaran. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti pembiayaan, treasury, atau investasi yang tercatat dalam pembukuan bank.
  • Risiko Pasar, yakni risiko yang terjadi akibat berubahnya variabel dari portfolio yang dimiliki oleh bank. Variabel yang berubah biasanya adalah suku bunga dan nilai tukar mata uang. Risiko pasar dapat bersumber dari kegiatan investasi bank dalam bentuk surat berharga, pengadaan valas atau penempatan pada lembaga keuangan lainnya.
  • Risiko Likuiditas, yakni risiko yang dimiliki karena bank gagal melakukan pembayaran terhadap kewajibannya yang jatuh tempo. Risiko dapat bersumber dari aktivitas bank dalam bidang perkreditan, penyediaan dana, dan instrumen hutang.
  • Risiko Operasional, adalah risiko yang timbul karena tidak berfungsinya sistem internal yang berlaku, kesalahan manusia, atau kegagalan sistem. Sumber terjadinya risiko operasional paling luas dibanding risiko lainnya yakni selain bersumber dari aktivitas di atas juga bersumber dari kegiatan operasional dan jasa, akuntansi, sistem tekhnologi informasi, sistem informasi manajemen atau sistem pengelolaan sumber daya manusia.
  • Risiko Hukum, timbul dari kegiatan yuridis antara lain dalam timbulnya tuntutan hukum dari pihak ketiga, ketiadaan peraturan perundangan yang mendukung, kelemahan pengikatan, atau pengikatan jaminan yang tidak sempurna sehingga bank tidak dapat melakukan tindakan likuidasi. Risiko ini dapat timbul dari aktivitas pembiayaan maupun aktivitas operasional.
  • Risiko Reputasi, adalah risiko yang timbul dari perpepsi masyarakat atau publikasi negatif terhadap kondisi bank.
  • Risiko Stratejik, adalah risiko yang timbul apabila bank salah menerapkan strategi, terlambat merubah strategi, kurang responsif terhadap strategi yang dijalankan untuk mencapai sebuah tujuan. Pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat juga salah satu penyebab timbulnya risiko strategik.
  • Risiko Kepatuhan, adalah risiko yang bersinggungan erat dengan risiko yang lain. Pada dasarnya risiko kepatuhan terkait dengan risiko yang timbul apabila kita tidak mentaati regulasi yang ada. Misalnya risiko kredit dapat muncul apabila kita tidak dapat memenuhi ketentuan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM), Kualitas Aktiva Produktif (KAP), Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP) atau Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Sedangkan risiko operasional dapat dapat muncul apabila perbankan mengabaikan ketentuan Posisi Devisa Netto (PDN). Risiko stratejik dapat muncul terkait Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) yang dibuat oleh bank. Risiko reputasi dapat muncul seandainya Non Performing Loan (NPL) naik melejit melebihi ketentuan yang ada.
Dari kedelapan risiko tersebut kita dapat memilahnya menjadi 3 perlakuan :
  • Menerima dan mengadopsi sepenuhnya pengertian dan paradigma risiko dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga. Termasuk dalam kelompok ini adalah Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik.
  • Menerima dan melakukan modifikasi terhadap beberapa hal prinsip yang tercantum dalam eksposure risiko sehingga dapat diterapkan secara benar dalam lembaga. Kelompok ini diwakili oleh Risiko Kredit dan Risiko Kepatuhan.
  • Tidak mempergunakan sama sekali acuan risiko tersebut dan selama ini yang saya anggap paling tidak dapat diaplikasikan sesuai dengan pengertian dan definisi risiko adalah adalah Risiko Pasar.

Risiko likuiditas kita sepakati sebagai bentuk risiko perbankan yang dapat diadopsi sepenuhnya oleh LKMS. Kemampuan LKMS untuk dapat melakukan pembayaran terhadap kewajiban-kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo merupakan risiko likuiditas yang harus selalu terus menerus dimonitor dan dicermati. Kewajiban jangka pendek adalah kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo kurang dari atau sama dengan 12 bulan. Point-point yang harus dilakukan untuk menangani risiko operasional pada LKMS juga dapat kita ambil dari apa yang dilakukan oleh perbankan. Kegagalan sistem, human error, dan ketidakmampuan karyawan untuk melakukan prosedur secara lengkap dan maksimal merupakan masalah utama yang harus diantisipasi dalam risiko operasional. Masuk dalam ranah pengawasan yang terkait dengan risiko operasional adalah kebijakan akuntansi, pencatatan dan perlakuan aset bank, kegagalan software dalam mengidentifikasi transaksi, dan beberapa aktivitas lainnya. Risiko hukum dapat terjadi terhadap implikasi yang timbul dari perjanjian atau kesepakatan dengan pihak eksternal. Wanprestasi dari salah satu pihak yang membuat kesepakatan menimbulkan potensi terhadap counterparty untuk melakukan tindakan hukum. Tindakan hukum dapat berupa gugatan pidana maupun perdata terhadap lembaga. Permasalahan yang timbul bisa terjadi karena perjanjian pembiayaan dengan pihak luar, perjanjian pembiayaan dengan nasabah, perjanjian dengan penyedia logistik/vendor inventaris, perjanjian sewa bangunan, atau perjanjian lain yang mungkin akan diadakan oleh lembaga kepada pihak lain. Manajemen pasti membutuhkan branding untuk memperkuat image position di mata pengguna jasa/produk. Branding adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh lembaga untuk meminimalkan risiko yang timbul dari permasalahan reputasi. Risiko reputasi dapat muncul sebagai salah satu akibat dari kegagalan mengamankan risiko likuiditas. Ketika penarikan dana nasabah terjadi di luar kebiasaan dan lembaga tidak mampu mengantisipasinya maka muncul efek sampingan berupa permasalahan baru akibat reputasi lembaga yang rusak. Risiko reputasi dapat pula timbul dari faktor internal antara lain dari prosedur atau kebijakan yang berbelit terhadap penanganan satu masalah yang berdampak langsung kepada nasabah. Selain itu integritas dan kompetensi pengelola juga mencerminkan kredibilitas lembaga di kalangan pemakai jasa. Strategi perlu direncanakan dan dibuat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun terkadang manajemen lupa untuk selalu mengawalnya dan melakukan evaluasi secara berkala. Oleh karena itu strategi perusahaan perlu dituangkan dalam satu dokumen tertulis apapun bentuknya sebagai pengejawantahan dari proses untuk mencapai tujuan. Dengan dituangkannya strategi dalam satu dokumen tertulis maka akan lebih mudah bagi manajemen untuk melakukan perubahan strategi apabila diperlukan. Terpaku pada strategi yang telah ditetapkan dan tidak berani merubah strategi merupakan keadaan terbesar yang memungkinkan kegagalan dalam menangani risiko strategi.

Risiko kredit menarik untuk kita perhatikan karena kita harus menyimak beberapa pengendalian risiko yang telah dilakukan oleh perbankan. Kebijakan pemberikan kredit yang sehat, merupakan salah satu contoh implementatif dari pengendalian risiko kredit yang dilakukan oleh perbankan. Penilaian kelayakan pengajuan pembiayaan yang berdasarkan oleh analisa 5C juga merupakan hasil adaptasi dari penerapan pengendalian risiko kredit perbankan. Demikian juga tahapan pengikatan yang dilakukan terhadap masing-masing tipe jaminan juga tidak dapat lepas dari pengaruh bagaimana selama ini perbankan melakukannya. Namun demikian kita tidak boleh lupa, bahwa Syariah adalah salah satu unsur pembangun penerapan manajemen risiko bagi LKMS. Syariah secara tegas membedakan bagaimana menangani pembiayaan yang bermasalah dibandingkan dengan apa yang telah dipraktekkan oleh kalangan perbankan. Tidak adanya unsur keadilan oleh perbankan konvensional dalam penanganan pembiayaan membuat perbedaan yang jelas bagaimana harus memposisikan risiko kredit dalam perspektif LKMS. Ada beberapa sudut pandang yang berbeda dalam memperlakukan manajemen risiko kepatuhan dalam LKMS. Ketika semua piranti hukum dan acuan legal lainnya telah tersediakan untuk perbankan, tidak demikian yang terjadi pada tatanan regulasi untuk LKMS. Jangankan regulasi, usulan tentang draft RUU UKMK saja baru diperbincangkan, apalagi peraturan yang khusus diperuntukkan bagi LKMS sepertinya masih jauh dari harapan. Jamak untuk dipahami bahwa LKMS pun baru kelihatan gaungnya akhir-akhir ini sehingga belakangan cukup dianggap layak untuk dibuatkan regulasinya. Ketika regulasi yang menjadi dasar tuntutan kepatuhan belum dapat diwujudkan akhirnya menjadikan dampak bagi LKMS. Banyak referensi-referensi penyelesaian masalah atau pola ukur perbandingan yang masih mempergunakan acuan yang dipakai oleh perbankan konvensional.

Risiko pasar sudah jelas tidak kita tempatkan sebagai sesuatu yang bisa diadaptasi baik secara keseluruhan maupun secara parsial. Sangat sedikit atau berani bahkan kalau dikatakan bahwa tidak pernah ada LKMS yang mendasarkan tingkat imbalan kepada suku bunga. Demikian juga hanya dalam hitungan permil LKMS yang menempatkan portfolio investasinya pada nilai tukar. Dengan demikian profil risiko pasar adalah “zero risk” bagi LKMS.

Beberapa baris yang dapat kita sampaikan bersama bahwa saat ini adalah saat yang terbaik bagi LKMS untuk menetapkan standar manajemen risiko yang sesuai dengan karakter lembaga. Ketika LKMS disepakati sebagai sebuah bentuk dari Lembaga Keuangan Bukan Bank, sudah jelas kiranya bahwa parameter yang dipergunakan harus berbeda. Pangsa pasar, merupakan satu komando yang jelas bagi terwujudnya pembeda-pembeda turunan lainnya yang secara nyata kita akui bahwa terdapat beda perilaku antara keduanya. Pada saat inilah yakni fase pertumbuhan merupakan saat yang tepat untuk mengkonsepsikan tentang penerapan manajemen risiko bagi LKMS. Di satu sisi, kita untuk sementara masih bisa mengadopsi konsep manajemen risiko perbankan dengan beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan. Di sisi yang lain kita sudah harus berani tampil untuk melakukan analisa dari apa yang sudah terjadi dan membuat forecasting kira-kira bagaimana arah gerak di masa mendatang agar dapat menyajikan formulasi yang tepat untuk menerapkan manajemen risiko yang cocok dan sesuai dengan LKMS.

Baca Lanjutannya...

Tuesday, August 28, 2007

Risk Management, Trade Off Between Risk and Opportunity

Sudah hampir 2 bulan ini saya meninggalkan blog, bukan karena sebab yang tidak material saya terpaksa tidak menulis namun selama kurun waktu tersebut sumber daya saya baik waktu, tenaga maupun pikiran tercurah habis untuk menuntaskan kewajiban saya. Kewajiban berupa keharusan untuk segera menyelesaikan proses pembangunan, perijinan, dan pembiayaan rumah saya yang baru dan alhamdulillah telah saya huni sejak 29 Juli 2007 yang lalu. Namun demikian saya tetap berkomitmen untuk tetap mengikatkan diri dan hati saya agar dapat selalu berkontribusi dalam hal audit (monitoring dan kontrol internal) dan ekonomi syariah. Dalam kepentingan tersebut, saya kembali duduk di depan laptop untuk menulis kata demi kata yang terangkai menjadi paragraf dan Insya Allah dapat berguna bagi diri saya dan teman-teman sekalian.

Manajemen risiko dapat dipahami secara mudah sebagai kemampuan manajemen untuk memahami, mengidentifikasi, menempatkan, mengukur, dan merawat risiko secara proporsional. Proporsional perlu ditempatkan sebagai kata kunci karena mengandung pengertian bahwa risiko terkait dengan pola bisnis perusahaan. Terkait pula dengan struktur organisasi, span of control, dan pembagian tugas serta kewajiban masing-masing personil. Dalam jasa perbankan, manajemen risiko merupakan tanggung jawab bersama antara komisaris dan manajemen. Bank Indonesia menerapkan kebijakan manajemen risiko yang baku terhadap pelaku perbankan di Indonesia. Komisaris melakukan evaluasi secara berkala minimal setahun sekali terhadap konsep kebijakan manajemen risiko yang diterapkan. Di sisi lain secara teknis manajemen risiko berada dalam tanggung jawab pejabat yang setingkat dan setara dengan Compliance Director. Komite Manajemen Risiko harus bersifat non struktural meskipun satuan kerjanya dapat terdiri dari personil-personil struktural dan ditempatkan dalam struktur organisasi. Beberapa bank masih menggabungkan antara unit kerja manajemen risiko dengan unit kerja pengawasan internal, namun bank yang memiliki ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan yang cukup dalam hal keuangan, infrastrukur, dan sumber daya manusia telah memisahkan antara kedua unit kerja tersebut. Kemampuan untuk memahami risiko penting dilakukan agar manajemen menyadari bahwa dalam proses bisnisnya ada risiko yang melekat dan terkait terhadap bisnis tersebut. Sebagai lembaga keuangan risiko yang dihadapi pasti juga tidak jauh dari aktivitas inti lembaga yakni berkaitan dengan pembiayaan dan simpanan. Risiko gagal bayar merupakan general accepted risk bagi lembaga keuangan. Manajemen perlu sadar dan paham bahwa atas bisnis yang dijalankannya mengandung risiko yang tidak dapat dihindari yang itu sesuatu yang harus terus dipantau.

Kemampuan untuk mengidentifikasi direfleksikan oleh manajemen sebagai kekuatan untuk melihat aspek kegiatan apa saja yang dapat menimbulkan risiko, serta mengelompokkan jenis risiko berdasarkan atas kekhasan masing-masing kegiatan. Struktur organisasi tentu berpengaruh terhadap tugas dan kewajiban masing-masing karyawan. Setiap elemen yang ada dalam sebuah perusahaan tentu mempunyai risiko yang berbeda-beda terhadap pekerjaan yang diembannya. Risiko pekerjaan Direktur Utama tentunya berbeda dengan Risiko pekerjaan Manajer Kantor Cabang, begitu pula risiko Teller berbeda dengan risiko pekerjaan Kabag. Marketing. Atas setiap bagian/divisi yang dimilikinya, perusahaan menempatkan risiko sesuai dengan klasifikasi sumber daya yang dimiliki, kompetensi, dan kepentingan perusahaan. Beragamnya kegiatan yang dapat menimbulkan risiko, faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan, terlibatnya transaksi dalam sebuah proses, aspek legal yang harus dipenuhi, merupakan beberapa tolok ukur yang dapat dipergunakan oleh manajemen dalam memberikan penilaian risiko (risk assesment). Seberapa jauh dampak yang terjadi terhadap perusahaan juga memberikan pertimbangan bagi manajemen untuk menilai apakah satu kegiatan berisiko tinggi, moderat, atau rendah. Tim pengendalian internal melakukan review berkala untuk menentukan profil risiko yang dimiliki oleh perusahaan. Perubahan paradigma bagaimana memahami dan memandang manajemen risiko menuntun manajemen untuk mengambil posisi akan membawa ke mana risiko-risiko yang selama ini dialami dan dihadapi. Merubah risiko untuk menjadi peluang merupakan tantangan yang harus dijawab oleh praktisi maupun pemerhati masalah manajemen risiko. Perubahan inilah yang kemudian direfleksikan oleh manajemen sebagai upaya untuk merawat risiko yang timbul.

Praktek-praktek manajemen yang "old fashion" harus bergerak sedikit demi sedikit untuk berkenalan dengan apa yang dinamakan manajemen risiko. Dahulu ketika praktek bisnis belum sekompleks sekarang, belum timbul gejolak ekonomi, belum banyak faktor eksternal yang mempengaruhi langkah manajemen, manajemen risiko dicap sebagai makhluk aneh yang justru akan membebani manajemen dengan pekerjaan baru. Untuk melakukan perubahan membutuhkan energi yang luar biasa dan yang terpenting adalah kesadaran yang ditunjang oleh kemauan untuk berubah. Mau tidak mau apabila menginginkan bisnis yang dijalankan bisa survive dan keluar menjadi pemenang, manajemen risiko sudah perlu diperkenalkan sedini mungkin terhadap manajemen, diadaptasikan, disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dengan tujuan agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pengejawantahan tata kelola perusahaan yang baik dan benar (good corporate governance) dilakukan melalui penerapan manajemen risiko sehingga tidak terjadi kesenjangan antara konsep yang sifatnya teoritis dengan praktek tata kelola yang berlaku implementatif. Manajemen risiko, pengendalian dan sistem pemeriksaan internal merupakan komponen esensial sebagai pembentuk konsep good corporate governance.

Masing-masing bisnis tentunya mempunyai penilaian risiko yang beragam, tergantung dari kondisi internal dan eksternal yang membentuk pola operasional bisnis tersebut. Seperti dicontohkan di atas perbankan sebagai bisnis keuangan mempunyai karakteristik "high regulated" sehingga perbankan mempunyai karekteristik risiko yang diseragamkan oleh Bank Indonesia agar pengawasan bisa menjadi lebih mudah. Berbeda misalnya dengan perusahaan telekomunikasi yang memiliki profil risiko sendiri atau perusahaan asuransi yang tentunya mengolah manajemen risikonya sesuai dengan lingkungan bisnisnya. Komisaris, direksi, dan jajaran manajemen pusat harus merumuskan seperti apa pola manajemen risiko yang akan diterapkan untuk selanjutnya kebijakan manajemen risiko tersebut diteruskan ke segenap lini dan elemen perusahaan. Untuk tetap memelihara sikap optimistis dalam melihat peluang usaha, manajemen jangan selalu mempersepsikan risiko sebagai sesuatu yang negatif. Anggapan skeptis terhadap risiko akan semakin membuat manajemen mengambil jarak dengan konsep manajemen risiko. Ada perumpamaan nyata, di mana nyamuk berani mempertaruhkan nyawanya mati ditepuk ketika sedang menghisap setetes darah manusia. Pasti nyamuk sudah mempertimbangkan risiko yang akan dialaminya sebelum menggigit manusia. Demikian juga ketika sebuah saat manajemen berani mengambil risiko untuk tidak membagikan seluruh keuntungan dan sebagian besarnya dialokasikan untuk pengembangan cabang. Dalam kondisi demikian manajemen berani mengambil risiko untuk tampil tidak populis di mata investor dan shareholder dengan tidak mendistribusikan pendapatan sebagai dividen. Namun demikian tentunya sudah diperhitungkan bahwa pada saat itu manajemen lebih membutuhkan dana untuk pengembangan jejaring kantor cabang daripada sekedar mempercantik diri melalui pembagian dividen.

Dalam lembaga pembiayaan ada contoh yang menarik, ketika HSBC, ABN Amro, dan StanChart berani memberikan kredit tanpa agunan untuk nasabah mereka. Dulu banyak kalangan perbankan yang tersontak kaget dan berpandangan negatif ketika ketiga bank asing tersebut dinilai terlalu berani mengambil risiko. Awam pasti menilai bahwa tidak ada kebijakan yang sehat pada ketiga bank tersebut dalam pemberian kredit, sehingga sedemikian beraninya mengalokasikan portfolio kreditnya untuk produk Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang mereka ciptakan. Namun sesungguhnya tidak demikian, mereka melakukan berbagai macam analisa mulai dari pembatasan portfolio untuk jenis kredit tersebut sampai dengan rate of return per portfolio yang ingin dicapai. Salah satu pertimbangan mereka berani memberikan KTA karena dapat memperoleh dana yang murah sebagai sumber pembiayannya. Cost of fund yang timbul dari sumber dana tersebut diproyeksikan tidak akan melebihi pendapatan maupun risiko yang timbul dari kredit yang diberikan tanpa agunan. Bukannya tapi risiko tapi sesungguhnya mereka telah berhasil memahami, mengidentifikasi, menempatkan, sekaligus merawat risiko sehingga apa yang tadinya dicibir orang karena dinilai terlalu berisiko justru menjadi lumbung pendapatan bagi mereka.

Kegiatan pemerintah untuk merubah penggunaan minyak bumi ke gas LPG sebagai sumber energi dapat dijadikan contoh referensi sebagai salah satu pembelajaran model manajemen risiko. Risiko yang paling jelas adalah risiko politik yang timbul, ketika sebagian oposan mempergunakan kesempatan ini untuk menghunjam kebijakan tersebut yang diputarbalikkan sehingga cenderung tidak berpihak kepada rakyat lemah. Risiko anggaran juga timbul dalam jangka pendek ketika pemerintah diharuskan untuk menyediakan dana promosi dan iklan yang besar untuk sosialisasi dimulai dari pengadaan kompor dan tabung gas yang gratis sampai dengan pembuatan iklan layanan masyarakat di berbagai media elektronik. Risiko operasional juga timbul dalam perspektif semua sumber daya manusia di berbagai jajaran departemen akan lebih bekerja keras untuk melakukan pekerjaan besar ini. Mereka yang tadinya hanya bekerja biasa-biasa saja, namun dengan adanya perubahan ini mereka pasti akan diberdayakan juga sebagai agent of development bagi pemerintah. Belum lagi timbul pekerjaan baru bagi Depkominfo untuk menggandeng para pemuka agama, pemuka adat, dan tokoh masyarakat untuk tampil bersama mengkampanyekan pentingnya konversi sumber daya energi ini. Di penilaian risiko yang lain risiko ekonomis juga bakal muncul dalam jangka pendek ketika pemerintah mau tidak mau harus memperkecil volume ekspor LPG ke Jepang sebagai bentuk perimbalan untuk mencukupi kebutuhan energi dalam negeri. Pendapatan akan berkurang sangat drastis karena selama ini Jepang dikenal sebagai pasar utama ekspor LPG dari Indonesia. Namun demikian pemerintah menurut pandangan penulis sudah melakukan risk assessment yang tepat ketika berkehendak untuk merubah kondisi ini. Dalam konklusi jangka panjang yang berkesinambungan akan lebih bermanfaat bagi bangsa Indonesia seandainya dapat dengan segera memindahkan sumber daya energi dari minyak tanah ke gas bumi sehingga dengannya pemerintah berani menghadapi risiko yang ada untuk tujuan yang lebih besar.

Perkembangan ekonomi yang makin global membuat peluang usaha dan timbulnya risiko dalam sebuah perusahaan tumbuh bersama-sama. Hal yang tidak dapat dihindarkan tersebut membuat perusahaan terus meningkatkan unsur pengendalian internal dan manajemen risiko untuk kelancaran dalam merebut peluang usaha dan membuat kerangka pengaman agar risiko dapat diperlakukan secara aman. Selain untuk memperkuat infrastruktur, manajemen ingin memastikan bahwa sistem kerja, tekhnologi, dan sumber daya manusia tersedia dan dapat dihadirkan secara lengkap untuk menjawab tuntutan perlunya sistem pengendalian internal dan manajemen risiko yang komprehensif dan integral.

Baca Lanjutannya...

Wednesday, June 20, 2007

Kontribusi Internal Audit dalam Expand and Growth Corporate

Beberapa hari yang lalu, saya chatting dengan mantan pacar (tapi ngga jadi istri, he he he) yang sekarang kerja di Bank Permata Jakarta. Mungkin karena dia telah membaca tiga postingan saya sebelumnya yang membuat dia menyuruh saya menulis suatu artikel tentang Internal Audit. Saya pikir apa yah yang bisa saya tulis... tapi akhirnya nemuin juga theme setelah ngelihat kanan kiri terutama tentang apa yang sekarang terjadi di kantor tempat di mana saya bekerja.

Saya dari dulu sampai sekarang tetap berusaha konsisten untuk untuk tetap meletakkan pekerjaan internal audit masuk dalam ranah Management Support System (MSS) dan dipergunakan sebagai bahan Decision Support System (DSS) yang dilakukan oleh manajemen. Internal auditor harus memahami paling tidak secara konseptual terhadap semua masalah dari front sampai back office dari satu rangkaian operasional perusahaan. Tuntutan ini didasarkan terhadap kebutuhan perusahaan untuk selalu memastikan bahwa seluruh rangkaian aktivitas berada dalam koridor sehat dan aman, di mana monitoring tugas tersebut merupakan salah satu amanat dari manajemen yang harus dilaksanakan oleh internal audit. Merupakan kewajiban pula bagi internal audit untuk memberikan pandangan mengenai efektifitas dan efisiensi dari sebuah mata rantai aktivitas perusahaan.

Di sisi lain perusahaan pasti akan berpegang teguh pada prinsip going concern untuk menjawab tantangan perubahan industri. Meningkat dari keinginan untuk sekedar pemenuhan kebutuhan bertahan dalam persaingan tersebut, perusahaan berusaha keluar untuk menjadi pemenang dari kompetisi tumbuh dan kembang baik dalam sisi penilaian ekonomis, kapitalisasi saham, nilai asset perusahaan, volume produksi, jumlah pelanggan, jaringan kantor cabang maupun dari tinjauan pemekaran jalur distribusi. Untuk mencapai tingkatan yang diharapkan tersebut tentunya korporat telah mempunyai serangkaian perencanaan yang dituangkan dalam bentuk kebijakan operasional, arahan produksi, estimasi anggaran, prosedur tetap, maupun standar operasional. Guna kepentingan tersebutlah korporat membutuhkan internal audit untuk memberi keyakinan kepada manajemen bahwa rangkaian tersebut di atas dapat berjalan dan dilakukan sesuai dengan perencanaan manajemen. Upaya untuk memastikan hal itu akan sedikit lebih menarik dan bertambah kompleks jika keadaan korporat sudah sedemikian rupa dengan bertambahnya kantor cabang, berkembangnya jaringan distribusi, atau luasnya cakupan wilayah pemasaran yang baru.

Ada lightning yang coba saya sampaikan dalam tukar pikiran ini bahwa ada beberapa peran dan kontribusi penting yang dapat dilakukan oleh internal audit dalam perusahaan yang sedang dalam masa pertumbuhan dan masa ekspansi, sebagian besar diantaranya adalah :

  • Pertama, internal audit team will be tasked to design & implement SOP (Standard Operating Procedures) for various business processes and post implement follow up. Pembukaan jaringan pemasaran baru, ambilah sebuah contoh dapat menimbulkan keharusan bagi suatu perusahaan untuk mendirikan kantor cabang baru dengan tujuan mendekatkan pelayanan atau distribusi barang. Tantangan akan langsung menyambut tatkala engine sudah distart manajemen. Dari mulai pelaksanaan Studi Kelayakan Bisnis (SKB), marketing mapping, persiapan sumber daya manusia dan post handling, budgeting pendanaan cabang (capex), rancangan revenue dan opex cabang, sampai kepada persiapan logistik merupakan hal baru yang harus dihadapi oleh manajemen. Mau tidak mau, suka tidak suka, take it or leave it itu semua tersebut harus dijalankan. Apalagi untuk perusahaan-perusahaan dengan kategori "baby boomers" yakni perusahaan yang sudah berjaya di pasar lokal namun dengan sukarela meninggalkan zona aman untuk menggapai sesuatu yang lebih baru dan lebih menantang. Internal auditor berperan aktif untuk membuat analisa standar operasi apa yang harus di create untuk memberikan pedoman pelaksanaan bagi hal baru tersebut. Harus seiring sejalan dengan slimming, fast, dan flexible corporate standar operasi yang akan dirumuskan harus nyaman tanpa meninggalkan faktor keamanan. Ekspansi yang dilakukan membutuhkan kawalan dan dokumentasi dari standar operasi yang harus dituliskan secara tepat oleh manajemen korporasi pusat.
  • Kedua, develop company's system to grow an effective and efficient environment. Tujuan akhir untuk memperoleh laba sebesar-besarnya melalui kinerja keuangan secara sederhana dapat diperoleh dari 2 jalur yakni meningkatkan omset sehingga berujung kepada naiknya pendapatan dan mengatur biaya sehingga biaya yang dikeluarkan dapat tepat cara (efektif) dan tepat nilai (efisien). Pemborosan harus selalu dapat dihindari dalam setiap aktivitas. Pemborosan sendiri bisa dimaknai dengan aktivitas yang kita lakukan dengan mengorbankan sumber daya waktu, sumber daya dana, ataupun sumber daya tenaga yang tidak mendatangkan manfaat bagi operasional perusahaan. Merupakan tugas internal audit untuk memastikan bahwa semua lapis dalam sebuah entitas korporat menjalankan fungsinya dengan efisien dan efektif. Memberikan opini tentang tingkat efisiensi dan efektifitas sekaligus memberikan alternatif peningkatannya apabila dipandang perlu harus selalu dilakukan oleh internal audit. Pandangan ini bisa didasarkan atas penilaian nominal yakni biaya yang dapat ditekan atas aktivitas operasional yang tidak efisien. Pandangan yang lain bisa juga bertautan dengan penghematan yang dapat dilakukan terhadap aspek waktu pelaksanaan sebuah fungsi, kuantitas dan kualitas sdm yang dibutuhkan, kecepatan kerja, tools bagi sdm ataupun teknologi informasi yang dipergunakan terhadap beberapa aktivitas yang seharusnya dapat berjalan dengan lebih efektif. Efektif dan efisiensi mau tidak mau harus menjiwai atas setiap sistem kerja yang dibangun. Inipun harus ditunjang dengan keharusan manajemen untuk selalu melakukan refresh kepada semua lini tentang pentingnya efektifitas dan efisiensi. Kita harus sadar, apabila pendapatan susah sekali didongkrak disebabkan multifaktor yang terjadi hal yang paling mudah dan cepat dilakukan oleh internal perusahaan adalah melakukan kendali atas operational expenditure yang dikeluarkan dan menimbang sekritis mungkin terhadap capital expenditure yang akan dibelanjakan.
  • Ketiga, monitor corporate audit service issue closure. Perkembangan tentang pengetahuan dan referensi mengenai corporate audit service secara pesat terus berkembang, terutama bagi perusahaan konglomerasi yang melakukan diversifikasi operasional dengan membentuk perusahaan-perusahaan baru atau membeli perusahaan-perusahaan yang tidak ada hubungan sebelumnya dengan core bisnis korporasi. Ekstensifikasi korporasi ini harus diimbangi pula oleh internal audit dalam pengembangan kemampuan diri (self ability) agar tetap dapat berperan maksimal seiring dengan perubahan pola bisnis, modus operandi kecurangan, proses yang disefisiensi, perubahan perlakuan akuntansi, perubahan kebijakan perpajakan atau terhadap issue-issue expertise lainnya. Ketajaman analisa yang menjadi andalan utama internal audit harus terus diberi sparing partner dengan dihadapkan kepada kasus-kasus atau problematika kalau tidak ingin ketajaman tersebut terdilusi dengan semakin kompleksnya problematika manajemen.
  • Keempat, To review business process in certain functions/divisions. Langkah perencanaan telah membawa manajemen menetapkan secara pasti fungsi kerja dari masing-masing divisi. Fungsi kerja dapat dibreak-down ke dalam beberapa bagian kecil yang akhirnya bersatu dan bersimpul untuk membuat sebuah rangkaian proses bisnis. Dengan telah menetapkan secara pasti, korporat mempunyai pedoman yang jelas bagaimana sebuah roda unit kerja digerakkan. Aktivitas unit kerja akan membangun gerak yang terjadi di divisi. Selanjutnya gerak divisi akan menjadi bagian utama dari operasional departemen. Operasional departemen berperan utama menopang proses bisnis keseluruhan dari satu entitas korporat. Dari bagian yang paling besar sampai unit terkecil dibuat pedoman perencanaan yang akan menuntun dan mengarahkan tujuan korporat. Di sinilah peran internal auditor untuk memberikan assesment terhadap proses yang berjalan. Pedoman perencanaan tentunya telah disepakati secara bersama oleh top manajemen dan bahkan dalam beberapa kesempatan turut pula andil komisaris untuk menentukan detil proses bisnis yang akan dilakukan. Pedoman perencanaan yang telah disepakati tersebut akan menjadi guidelines bagi internal auditor untuk mengontrol dan melakukan review seberapa jauh proses bisnis telah dijalankan sesuai dengan pedoman yang diberlakukan dan ditetapkan.
  • Kelima, the adequacy of internal controls and risk management, and verifying compliance with internal system. Internal kontrol yang memadai harus dipunyai oleh setiap korporat yang mempunyai banyak sekali aktivitas operasional di dalamnya. Aktivitas tersebut didasarkan atas tujuan dari berbagai elemen yang telah ditetapkan. Dibutuhkan rangkaian dinamis sistematis untuk memastikan semua elemen tersebut berjalan sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Peran dari risk managementlah yang akan mengatur seberapa besar risiko dari satu aktivitas yang akan berimbas kepada ditentukannya syarat kualitas SDM, kebutuhan alat kerja maupun ketat atau longgarnya protap yang harus dibuat. Manajemen menetepkan risk management untuk mengalokasikan sumber daya keuangan semaksimal mungkin dan mengurangi seminimal mungkin adanya kejutan-kejutan yang tidak diharapkan . Dalam mengalokasikan sumber daya tersebut risk management menuntun korporasi untuk hanya mengalokasikan investasi atau mendapatkan sumber penghasilan dari aktivitas yang secara tepat dapat diukur risikonya. Dalam lembaga keuangan, sangat penting untuk mengetahui dan memahami kemana arah portofolio pembiayaan dan investasi sehingga dapat melakukan penilaian secara mendalam untuk meminimalisasi risiko yang terjadi.
  • Keenam, inspects items in books of original entry to determine if accepted accounting procedure was followed in recording transactions. Merupakan suatu kebutuhan manajemen pula untuk mendapat analisa dari monitoring yang dilakukan terhadap aktivitas keuangan sehingga didapat kepastian bahwa angka yang disajikan kepada jajaran manajemen bebas dari salah saji yang material. Target pendapatan dan biaya kerap kali diambil dari kondisi keuangan terakhir sebagai perwakilan dari prinsip anggaran cost history dan cost budgeting, sehingga asas tepat saat, tepat jumlah dan tepat tempat merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi angka-angka yang akan disajikan. Kelaziman terjadinya, dicatat dan dilaporkannya satu transaksi terhadap kesesuaian dengan prinsip SAK (Standar Akuntansi Keuangan) yang berlaku juga harus dikawal dengan baik. Perlakuan dan pencatatan terhadap aktiva produktif, aktiva tetap, terhadap umur piutang, alokasi pembebanan bulanan terhadap goodwil, franchise, patent, dan copyright, ataupun pengakuan kewajiban jangka pendek adalah sedikit dari banyak hal yang harus dicatat dan disajikan secara lazim dan layak. Tak ketinggalan pula termasuk bagian terpenting yakni berkaitan dengan praktek akuntansi berbasis syariah yang diwujudkan antara lain dalam pengawasan komponen penghitung bagi hasil, waktu distribusi bagi hasil, pengakuan terhadap cash basis revenue, prinsip pencatatan piutang dalam skim murabahah, dan lain sebagainya.
  • Ketujuh, verifies compliance of taxation issues and its operating procedure according to internal policy. Satu lagi additional value dari internal auditor untuk mengawal update tentang informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Pajak yang berkaitan dengan korporasi jauh lebih kompleks daripada permasalahan pajak yang berkaitan dengan perusahaan sederhana (tanpa kantor cabang apalagi luar daerah, belum punya jenis usaha lain, bentuk perusahaan perseorangan atau perseroan komanditer, atau belum listing di bursa). Beberapa peraturan perubahan pajak terkini misalnya tentang Ketentuan Umum Pekerjaan (KUP), ketentuan Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana Dimaksud dalam PPh Ps 23, Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu harus segera diupdate oleh internal auditor untuk mengukur sejauh mana tingkat ketataan korporasi terhadap peraturan perpajakan dan sejauh mana korporasi bisa memanfaatkan tax insentif yang diberikan oleh pemerintah. Seiring dengan kebijakan desentralisasi beberapa kebijakan berkaitan dengan pajak daerah juga harus terus diamati, bisa jadi di kantor cabang yang satu pengenaan pajak daerahnya berbeda dengan kantor cabang yang lain. Ada hal menarik yang perlu dicermati oleh pelaku ekonomi syariah bahwa dalam RUU PPh yang baru ditetapkan secara eksplisit bahwa pendapatan dari usaha yang berbasis syariah tidak dikecualikan dari pendapatan yang tidak dikenai pajak. Issue lain antara lain pengenaan PPN berganda atas barang-barang murabahah, pengenaan PPN atas jual beli dirham dan dinar, pengenaan PPN terhadap penjualan sukuk, pengenaan PPh terhadap bagi hasil yang diperoleh oleh lembaga FOZ dan beberapa lainnya juga tidak boleh luput dari pantauan internal auditor.
  • Kedelapan, consultative function for the board of management. Karena memahami secara konseptual dan strategis semua aspek operasional perusahaan internal audit harus dikembangkan menjadi sebuah tempat yang konsultatif untuk berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh manajemen. Melalui cara inilah internal audit dapat berfungsi pula sebagai cache engine terhadap pemecahan masalah-masalah yang relatif sama.
Dari paparan di atas satu hal yang ingin saya komunikasikan dengan pembaca adalah keberadaan pendapat saya tentang tema sentral mengenai kontribusi internal auditor dalam manajemen modern. Bahwa kita sudah harus menyadari bahwa bisnis telah membawa transformasi luar biasa dalam berbagai bidang ilmu dan kemampuan profesional. Bahwa dulu auditor dikenal dengan stempel tukang periksa, identik dengan kata-kata "pengawasan", "kecurangan", "pemeriksaan" dan kata-kata lainnya yang bisa membawa energi negatif baik bagi untuk dirinya sendiri maupun lingkungan kerjanya. Saya dapat merasakan hal itu dengan langsung ketika menjadi eksternal auditor di sebuah KAP selang kurun waktu 3-4 tahun. Melalui wacana ini saya ingin membangun satu buah pembaruan ataupun paling tidak berada dalam pembaruan profesionalitas bahwa internal audit terutama sudah harus menyesuaikan dengan pola bisnis yang terus mengalami kristalisasi sampai entah kapan. Korporasi tentu berusaha akan selalu bergerak cepat dan tajam, dan dalam kecepatan gerak dan langkah tersebut perlu dikawal dan dijaga oleh internal auditor melalui beberapa kontribusi yang dapat dilakukan seperti pemaparan saya di atas.

Baca Lanjutannya...

Sunday, June 10, 2007

Displaced Financing Risk Bagi Lembaga Keuangan (Perbankan) Syariah

Sebenarnya topik ini belum terdaftar dalam urutan materi yang akan saya wacanakan dalam blog, namun karena kemarin kesasar harus menjawab pertanyaan fresh gaduate waktu diskusi di kampus akhirnya saya putuskan untuk menulis tema ini di blog. Pertanyaannya adalah kenapa portfolio di bank syariah didominasi oleh murabahah dan ijaroh daripada musyarokah dan mudharabah, mungkin sesudah melihat neraca beberapa bank syariah atau unit usaha syariah beberapa waktu sebelumnya sehingga dia dapat bertanya seperti itu. Sebenarnya kondisi ini sudah berlangsung lama sehingga kadang mencuat sanggahan kepada mereka pelaku perbankan syariah kenapa tidak berani mengambil risiko untuk melakukan pembiayaan dengan skema bagi hasil daripada pembiayaan dengan skema margin/markup. Kalau saya melihat beberapa financial statement bank syariah dan unit usaha syariah memang terjadi perbedaan prosentase yang cukup besar antara pembiayaan yang dilakukan dengan pembiayaan dengan skema margin (murabahah dan ijaroh)dibanding dengan pembiayaan dengan basis akad bagi hasil (mudharabah dan musyarokah).

Sebagai contoh audited financial statement PT Bank Syariah Mandiri (BBSM-JSX) yang telah diaudit oleh Registered Public Accountant, pada tahun buku 2006 jumlah piutang murabahah Rp 4,188 triliun sedangkan jumlah pembiayaan mudharabah bersih setelah dikurangi dengan penyisihan kerugian Rp 1,107 triliun dan jumlah pembiayaan musyarokah bersih setelah dikurangi dengan penyisihan kerugian menunjukkan angka Rp 1,481 triliun. Sehingga dengan komposisi aktiva produktif tersebut komposisi pendapatan yang tersaji dari basis pembiayaan jual beli sebesar Rp 510 miliar, sedangkan pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil senilai Rp 310 miliar. Namun demikian sebenarnya keadaan sekarang ini sudah lebih baik daripada dahulu pada awal pembiayaan syariah diluncurkan. Seiring dengan waktu, sedikit demi sedikit bank mulai berani mengucurkan pembiayaan dengan pola investasi dan tidak melulu dengan pola jual beli atau sewa.

Kembali, showing yang saya coba ungkap dalam tema ini adalah mengapa lembaga keuangan syariah terutama perbankan syariah lebih nyaman bila menyalurkan portfolio dana nasabahnya melalui pembiayaan dengan akad jual beli atau sewa.
  • Pertama, dalam skema bagi hasil bank mempunyai risiko sangat tinggi untuk sama sekali tidak menerima bagi hasil dari nasabah yang dibiayainya. Hal ini dapat terjadi jika usaha nasabah yang dibiayai mengalami kerugian, meskipun bank masih berhak atas pengembalian pokok pinjaman. Akad musyarokah dan mudharabah menempatkan bank pada posisi yang berisiko karena secara syar’i yang dituangkan dalam akad, bank harus siap pula menanggung kerugian terhadap usaha nasabah yang dibiayainya. Namun demikian meskipun belum dikategorikan sebagai pembiayaan macet karena asumsinya nasabah masih dapat membayar pinjaman pokok, dari sisi ekonomis kerugian yang dimaksudkan oleh bank adalah dari sudut pandang waktu dan energi yang telah dikeluarkan. Demikian pula bank mengalami kerugian dalam bentuk kehilangan kesempatan lending kepada nasabah yang lain yang mempunyai prospek lebih bagus atas dana yang sama.
  • Kedua, dalam akad murabahah dan ijaroh bank memiliki proyeksi estimasi yang tinggi terhadap keuntungan yang akan diraihnya. Karena atas akad yang telah disepakati, prinsip murabahah mengijinkan untuk mengambil keuntungan atas barang yang dijual oleh bank kepada nasabah. Meskipun barang tersebut sebenarnya dipakai untuk usaha namun jika usaha yang dilakukan oleh nasabah mengalami penurunan, secara syar’i bank masih mempunyai hak atas keuntungan terhadap penjualan barang tersebut. Demikian pula atas prinsip ijaroh yakni sewa, bank memperoleh kepastian lebih besar untuk menangguk untung melalui angsuran pembayaran sewa setiap bulan yang diberikan oleh nasabah. Dalam akad sewa beli semasa belum lunas, maka hak kepemilikan barang tetap ada pada bank dan nasabah membayar biaya sewa bulanan. Namun ketika tenor pembiayaan sudah jatuh tempo maka kepemilikan barang berpindah ke nasabah. Dengan demikian semasa tenor pembiayaan belum selesai, bank memiliki kepastian yang lebih besar secara akad syar’i untuk mendapat keuntungan melalui uang sewa yang didapatnya.
  • Ketiga, atas keadaan tersebut di atas para pejabat marketing bank mulai dari level AO, Kabag. Marketing, Credit Remedial atau pejabat marketing lainnya lebih senang mengarahkan pembiayaan ke arah akad murabahah atau ijaroh, karena selain risikonya lebih rendah juga tidak membutuhkan penilaian kelayakan usaha yang dianggap terlalu ribet, membuang waktu dan membutuhkan kemampuan analisa tersendiri. Untuk memproses pembiayaan berbasis musyarokah dan mudhorobah memang relatif lebih lama dari segi waktu dan lebih membutuhkan energi yang lebih banyak. Karena harus mendalami benar kelayakan usaha yang akan dibiayai untuk menghindari risiko pembiayaan menjadi bermasalah atau setidaknya bank memperoleh keyakinan akan bagi hasil yang diproyeksikannya.
  • Keempat, akad murabahah dan sebagian ijaroh disasarkan kepada pembiayaan yang bersifat konsumtif. Pembiayaan konsumtif banyak diarahkan kepada nasabah berpendapatan tetap yang diwakili oleh karyawan atau pegawai negeri. Bahwa memang benar perbankan telah mengukur risiko yang akan dihadapi dengan menganggap nasabah berpendapatan tetap lebih kecil kemungkinannya untuk gagal bayar (default). Dibangun oleh analisa bahwa karyawan atau pegawai negeri sipil mempunyai pendapatan yang tetap setiap bulannya sehingga alokasi pengeluarannya pun relatif tidak akan bergejolak, merupakan salah satu elemen penilaian risk management. Berbeda dengan pembiayaan dengan akad musyarokah atau mudhorobah yang nilai bagi hasilnya bisa naik turun sesuai dengan pendapatan usaha yang diterima oleh nasabah. Pola re-payment seperti ini dianggap lebih berisiko bagi perbankan karena fluktuatifnya nilai keuntungan menyebabkan perbankan lebih sulit untuk forecasting pada pembiayaan model bagi hasil.
  • Kelima, lembaga keuangan syariah terutama mikro syariah terkadang memiliki sedikit keraguan terhadap besaran pendapatan usaha yang dilaporkan oleh nasabah yang nantinya akan dibagihasilkan. LKS yang tidak dapat memonitor operasional terutama kinerja keuangan nasabahnya cenderung akan menerima begitu saja nilai bagi hasil yang diperolehnya. Apalagi kalau ternyata LKS tidak begitu menguasai jenis usaha yang dibiayainya. Sehingga cukup beralasan pula dari segi risk manajemen apabila LKS sangat-sangat selektif untuk memilih jenis usaha yang akan dibiayai, karena adanya tuntutan untuk bisa menguasai seluk beluk jenis industri tersebut sehingga tidak dapat dibohongi begitu saja terhadap perhitungan bagi hasil yang disajikan oleh nasabahnya.
Namun demikian keadaan sekarang telah berubah sedikit demi sedikit karena perbankan syariah sudah mulai lebih berani mengaplikasikan konsep bagi hasil dalam pembiayaan yang diberikan. Seperti data yang dirilis berdasarkan data statistik bank sentral pembiayaan konsumsi menurun sejak bulan Februari 2007. Saat itu kredit konsumsi mencapai Rp 5,96 triliun, namun pada Maret turun menjadi Rp 5,46 triliun dan pada April kembali melandai menjadi Rp 5,33 triliun. Sementara kredit investasi serta modal kerja terus mengalami peningkatan. Pembiayaan investasi naik dari Rp 4,32 triliun bulan Maret menjadi Rp 4,64 triliun pada April. Kemajuan pembelajaran nampaknya telah dialami oleh para punggawa pembiayaan dengan telah diresapnya dengan baik risk management sehingga pola pengukuran risiko nasabah bisa diketahui dengan lebih tajam, mudah dan akurat.

Mungkin akibat didorong pula oleh kebijakan pemerintah yang selalu mendorong perbankan untuk melaksanakan fungsi intermediasi sepenuhnya membuat perbankan syariah lebih terdorong secara moral untuk bergerak lebih cepat. Pembiayaan usaha yang disalurkan akan tetap selektif dikarenakan selain tuntunan risk management juga tuntutan syar'i bahwa pembiayaan yang diberikan harus diinvestasikan kepada jenis usaha atau industri yang terbebas dari unsur haram baik dari sudut pandang produk, cara memproduksi, maupun cara pemasaran. Akhirnya kita dapat berharap optimis terhadap perbankan syariah untuk menjadi leader bagi kalangan perbankan lainnya guna memberikan pembiayaan investasi/modal kerja daripada sekedar pembiayaan berbasis konsumtif.

Baca Lanjutannya...

Sunday, May 27, 2007

Teknologi informasi sebagai pembentuk bangunan Span of Control

Beberapa waktu yang lalu Wakil Direktur yang menjadi nahkoda tim Studi Kelayakan Bisnis (SKB) perusahaan kami memaparkan hasil SKB di Kalimantan Selatan kepada jajaran manajemen pusat yang lainnya. SKB ini dilaksanakan dalam rangka penilaian dan penjajakan kemungkinan didirikannya kantor cabang di daerah Balikpapan, Bontang, dan Sangata. Benang merah yang saya ambil di sini dari pemaparan beliau adalah investment model yang akan diterapkan kemungkinan besar lain dengan kantor cabang yang sudah berdiri karena dimensi span of control yang berbeda sebagai salah satu pertimbangan. Faktor jarak yang cukup jauh dari manajemen pusat maupun kantor cabang yang lain merupakan salah satu kendalanya. Beberapa kantor cabang kami yang lain menggunakan private placement dan beberapa lainnya lagi menggunakan strategic placement dalam model investasinya. Kedua model tersebut untuk sementara tidak dimasukkan dalam kemungkinan pengambilan model investasi pada kantor cabang yang akan didirikan di Balikpapan. Kesimpulan kami, model investasi yang akan digunakan adalah synergy investment sebagai bahasa halus yang lain dari model franchise. Memang agak sedikit polemik ketika kata franchise harus dipergunakan dalam manajemen kami manajemen lembaga keuangan mikro syariah selain karena pemahaman yang belum begitu mendalam, praktek franchise jarang pula dipergunakan untuk lembaga keuangan yang mengkhususkan kegiatannya kepada kegiatan saving dan financing sehingga daripada referensinya kurang akan lebih baik bagi kami untuk sedikit melakukan modifikasi sehingga jadilah konsep synergy investment.

Underline yang akan saya ambil dalam kesempatan ini adalah span of control. Span of control yang paling gampang dialihbahasakan menjadi istilah rentang kendali mengacu kepada berapa orang maksimal subordinates (lebih santun mengistilahkannya demikian daripada staff atau bawahan) yang dapat dikontrol secara efektif dalam satu rentang struktur. Beberapa penjelasan lain mengacu kepada pengertian berapa orang subordinates yang melapor kepada superordinates (istilah lunak dari manager atau atasan) dalam satu rentang struktur. Span of control sendiri pertama kali dikembangkan teorinya oleh V. A. Graicunas seorang management consultant yang berdomisili di Paris, Perancis pada tahun 1933. Kemudian salah satu teori dan rumusnya mengenai Span of Control diedit dan disempurnakan kembali oleh Luther Gulick dan Lyndall F. Urwick melalui artikel mereka yang diterbitkan oleh Harvard Business Review pada Bulan Mei 1956 dengan judul "The Manager's Span of Control". Ternyata dalam artikel tersebut dijelaskan dan diuraikan dengan detil bahwa Span of Control yang efektif dapat diperoleh melalui rumus matematika. Jadi dengan jumlah personal berapa, jumlah direct function berapa, jumlah cross function berapa, dan beberapa variable terukur lainnya dapat dihitung berapa jumlah orang efektif yang dapat dijadikan subordinates oleh seorang superordinates.

Dari pengalaman selama ini yang saya jalani dan pelajari, beberapa faktor penentu yang menjadikan Span of Control berfungsi secara optimal adalah :
  1. Lingkungan dan iklim kerja dari subordinates. Lingkungan di sini mengacu kepada suasana kerja, keamanan kerja, perangkat kerja yang dipergunakan, lebih banyak bekerja di dalam atau di luar ruangan, tingkat stressing dan beberapa indikator lainnya. Lingkungan yang kondusif bagi subordinates menciptakan peluang yang besar terhadap berfungsinya span of control secara optimum.
  2. Skill dari subordinates, baik skill yang didapat sebagai seorang tenaga terdidik maupun sebagai seorang tenaga terlatih. Skill yang dipunyai secara proporsional akan sangat membantu pencapaian efektivitas span of control karena dengan ditunjang skill yang memadai subordinates dapat melakukan fungsi kerjanya tidak hanya sebatas sebagai sebuah ritual hafalan akan tetapi dia menjiwai pekerjannya sehingga dapat bekerja secara dinamis dan efektif meskipun kontrol tidak dilakukan secara ketat.
  3. Skill dari para superordinat karena bagaimanapun superordinat adalah posisi yang harus ada dalam sebuah skema span of control. Tidak mungkin terjadi sebuah span of control kalau tidak ada posisi superordinat. Oleh karena itu skill superordinat yang berkompeten sangat dibutuhkan.
  4. Adanya dokumen yang menjadi pedoman bagi subordinates. Manajemen mengejawantahkan hal ini dalam pembuatan Standar Operational Prosedur (SOP) atau Prosedur Tetap (Protap) dalam setiap fungsi kerja dari sebuah organisasi. SOP atau Protap berfungsi sebagai dokumentasi dan pusat rujukan apabila ditemukan sebuah kasus yang memerlukan referensi. SOP berfungsi pula sebagai guideline atau acuan bagaimana proses sebuah fungsi kerja dapat ditegakkan. Namun demikian SOP/Protap harus selalu dinamis, egaliter terhadap kondisi, dan flexible terhadap keadaan yang artinya apabila suatu proses dapat disederhanakan dan dapat meningkatkan kenyamanan tanpa harus mengurangi keamanan maka sederhanakanlah secepatnya. Bagaimana SOP didokumentasikan dan disesuaikan dengan perkembangan keadaan berdasarkan tingkat naik turunnya tingkat risiko (risk grade) harus terus dilakukan oleh perusahaan yang ingin span of controlnya berjalan dengan tanpa hambatan berarti. Kalimat-kalimat di atas mencerminkan bahwa SOP berperan serta aktif dalam pembentukan span of control yang berdaya guna.
  5. Teknologi informasi yang reliable dan available. Mengapa reliable karena banyak sekali moda teknologi informasi yang bertebaran saat ini yang menawarkan segala janji kemudahan kepada pengguna namun ternyata setelah ditelaah teknologi informasi tersebut sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan oleh sebuah perusahaan yang sudah terlanjur mengaplikasikannya. Misalnya sebuah perusahaan sebetulnya hanya membutuhkan teknologi informasi sampai takaran/grade 6 saja, namun ternyata TI yang dibelinya berklasifikasi 7 atau 8 dengan demikian telah terjadi kemubaziran. Intinya dari kata reliable adalah sesuai dengan kebutuhan dan telah merupakan hasil kompromistis terbaik antara kebutuhan dan dana yang tersedia. Sedangkan available mengacu kepada ketersediaan karena TI selalu dikaitkan dengan infrastruktur yang harus menopang terselenggaranya TI tersebut hingga acapkali jasa yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan TI belum dapat segera diaplikasikan karena menunggu pembangunan infrastruktur yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Dari 5 faktor di atas, khusus akan saya bahas tentang faktor yang ke 5 yakni peran serta dan posisi teknologi informasi dalam membentuk span of control yang efektif. Terlalu banyak sekarang orang yang menyebut istilah teknologi informasi tapi bingung juga ketika harus terpaksa mendefinisikannya. Agar lebih mudah dan simpel sesuai dengan namanya teknologi informasi dapat diartikan sebagai pilihan cara, alat atau media yang digunakan untuk saling bertukar informasi. Entah apapun itu wujudnya baik chatting, video conference, video streaming atau push to talk intinya adalah cara berkomunikasi. Demikian juga bentuk teknologinya baik itu VPN, MPLS, Frame Relay, DVB-IP, LAN Dial semuanya refers kepada alat yang kita gunakan untuk berkomunikasi. Dengan teknologi informasi, kuantitas dan kualitas informasi yang dipertukarkan dapat ditingkatkan. Sebelumnya akan saya beri batasan dulu bahwa teknologi informasi yang akan kita wacanakan saat ini adalah teknologi informasi untuk kepentingan koordinasi dan kontrol kepentingan internal. Maksudnya, bisa juga kita membutuhkan teknologi informasi yang tidak ada hubungannya dengan span of control. Misalnya sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang forex dan future index jelas membutuhkan teknologi informasi untuk bisa mengakses informasi real time dari berbagai bursa saham dan bursa berjangka internasional, jelas tidak ada korelasinya dengan span of control.

Teknologi biasa digunakan oleh lalu lintas data yang menyajikan informasi tentang angka dari berbagai macam jenis kepentingan. Kebanyakan banyak pihak yang baru memikirkan peningkatan teknologi informasi setelah membutuhkan percepatan penyampaian informasi dari lingkungan internal perusahaan yang terkendala jarak dan waktu apabila digunakan cara penyampaian informasi yang konvensional. Ingat, merpati pos dan surat juga merupakan jenis dari teknologi informasi juga. Jadi ketika ada perusahaan yang menginginkan sampainya informasi yang tetap berkualitas kepada manajemen dalam kecepatan yang relatif lebih baik, secara langsung perusahaan tersebut sudah harus memulai kajian tentang span of control. Karena dapat dipastikan perusahaan tersebut harus menerima informasi yang relatif cepat dan tetap berkualitas dari unit bisnis atau kantor cabangnya. Industri perbankan tidak bisa mengelak dari keharusan untuk menyajikan informasi real rime sehingga kebutuhan terhadap teknologi informasi yang reliable dan available tidak dapat dihindari. Erat kaitan sebagai supply and demand antara menyajikan data yang akurat dengan tantangan kendala jarak dan waktu serta teknologi informasi yang berkembang.

Selama ini yang lazim teknologi informasi dipergunakan untuk sesuatu yang berhubungan dengan eksak atau nilai. Perbankan membutuhkan TI salah satunya untuk kelancaran mesin-mesin ATM, sehingga transaksi bisa dilakukan dengan serta merta dan bank dapat melakukan kontrol terhadap kantor cabangnya untuk memastikan tidak terjadi kelebihan tarik (overdraft) karena sistem ATM sudah real time. Demikian juga dengan TI yang dibangun oleh perusahaan penerbit, bahwa kantor cabang atau point of sales dapat melaporkan sales report secara responsif sehingga manajemen pusat dapat melakukan kontrol terhadap strategi marketing yang diambil.

Namun demikian, ada pula berbagai kekurangan yang tidak dapat dilayani oleh teknologi informasi. Penulis mengidentifikasi beberapa hal yang sekiranya tidak mampu ditangani oleh teknologi informasi.
  • Pertama, teknologi informasi tidak dapat menyentuh hal yang berbau humanis. Misalnya kelakuan dan perlakuan karyawan. Dalam span of control hal ini sangat penting, dimana kelakuan dan perlakuan karyawan harus tetap dalam kendali manajemen pusat. Meskipun melalui teknologi data dapat disajikan secara cepat sehingga manajemen bisa mengambil keputusan dengan relatif lebih cepat pula dan kemudian mendelegasikannya kembali ke cabang, manajemen pusat tidak dapat langsung mendeteksi apakah subordinates langsung mengambil reaksi positif terhadap keputusan tersebut. Tidak langsung melakukan apa yang telah diputuskan dengan sengaja, melakukan hasutan kepada sesama subordinates untuk menunda pekerjaan, atau melakukan tindak kontra produktif lainnya merupakan hal-hal yang tidak dapat direspek secara langsung oleh teknologi informasi.
  • Kedua, teknologi informasi hanya dapat berfungsi secara maksimal apabila bentuk data tersaji secara numerik atau diinput langsung ke dalam sistem. Teknologi informasi memerlukan proses kuantifikasi terlebih dahulu agar dapat memberikan kontribusi yang nyata. Misalnya terhadap beberapa form kontrol yang dipergunakan untuk pengendalian sistem dari berbagai divisi yang karena karakteristiknya dengan perusahaan harus diisi dengan manual atau tulisan tangan harus terlebih dahulu dikuantifikasikan agar dapat diproses oleh teknologi informasi. Demikian pula laporan-laporan cabang yang berbentuk tulisan baik berupa naratif atau deskriptif penjelasan terhadap hal tertentu tidak dapat pula langsung diterima oleh sistem tanpa melalui proses kuantifikasi karena teknologi informasi hanya mengenal angka 0 dan 1 dalam teknis operasionalnya. Paling banter kita hanya dapat melakukan scanning terhadap form-form tersebut dan mengirimnya melakukan attachment e-mail.
  • Ketiga, manajemen sering kali tidak tahu kapan sebaiknya melakukan applikasi terhadap sebuah teknologi informasi. Saya contohkan di atas seharusnya sebuah perusahaan membutuhkan teknologi informasi cukup hanya jenis 6 tetapi akhirnya membelanjakan jenis teknologi grade 7 atau 8 yang secara finansial lebih mahal. Ahli teknologi informasi yang masih terlalu spesial seringkali memberikan pandangan yang terlalu teknis dan terlalu self opinion terhadap permintaan suatu aplikasi. Ini bisa dipahami karena masih sedikitnya tenaga yang mumpuni mengakibatkan self dan demand jadi tidak seimbang. Masih banyak dijumpai konsultan IT yang menawarkan teknologi informasi yang over specified terhadap kebutuhan kliennya dengan banyak motif. Motif kebanyakan adalah dengan spesifikasi yang lebih tinggi nilai proyek akan lebih tinggi pula daripada tingkat kebutuhan. Motif lainnya adalah kurang pahamnya juga para konsultan IT untuk menakar seberapa jauh tingkat kebutuhan penggunanya. Nah dalam hal ini highlight kita adalah manajemen perusahaan sendiri yang perlu belajar pula mengenai seberapa jauh tingkat kebutuhan jenis teknologi informasi yang diinginkan sehingga dapat menghindari semaksimal mungkin investasi teknologi informasi yang mubazir.
  • Keempat, fuzzy logic atau artificial intellegence teknologi informasi belum dapat mengidentifikasi ranah emosi atau psikologi karyawan. Hal ini sebenarnya sangat penting karena sebagai brainware, subordinates mau tidak mau harus mengolah daya pikir dan emosinya untuk melaksanakan sebuah keputusan manajemen. Apalagi akhir-akhir ini berbagai kajian kerja memberikan kesimpulan tentang pentingnya kondisi emosional dan spiritual dalam melaksanakan pekerjaan . Piranti perangkat lunak yang mampu mengakomodasi kepentingan ini masih sangat mahal harganya dan tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan yang ada.
Bahwa mengukur dan mengidentifikasi tingkat kebutuhan kita terhadap teknologi informasi sangat perlu kita kuasai sebagai manajemen modern. Dengan pertimbangan masih mahalnya teknologi informasi namun sudah perlunya kita mempergunakan alat bantu tersebut mengharuskan kita untuk memilah alternatif mana yang sesuai dengan kondisi internal. Span of control sebagai tema kita kali ini tidak mengharuskan jenis teknologi informasi apa yang kita harus pergunakan, namun menekankan apabila kita dapat dengan tepat memilih teknologi informasi apa yang sesuai dengan kebutuhan hal tersebut dapat memberikan kontribusi yang luar biasa bagi rentang kendali manajemen kita.




Baca Lanjutannya...

Wednesday, May 9, 2007

That’s What We Called DNA Leadership

Ada salah satu peserta pada Spiritual and Professional Leadership Training bagi praktisi BMT Se-Indonesia yang menanyakan kepada pemateri Dr. Suwarsono Muhammad bagaimana kunci atau resep pola kepemimpinan yang berhasil dan berdaya guna yang dapat kita aplikasikan pada diri kita. Sebelumnya Dr. Suwarsono Muhammad memberikan materi tentang pola kepemimpinan bagi seorang leader yang bisa berdasarkan pola visi (visioner), pola ilmiah (science), dan pola pengalaman (experience). Jadi seorang leader dapat mengambil keputusan berlandaskan visi yang dimilikinya. Biasanya leader yang begini ini jago dalam kerangka konseptual dan berpikir ke depan membawa skenario keadaan perusahaan seolah-olah berada dalam situasi dan kondisi tertentu sebelum memberi keputusan atau memecahkan masalah.Pola kerja berdasarkan insting dan intuisi melatar belakangi pemimpin tipe ini dalam setiap langkah yang diambil. Lain halnya dengan pola ilmiah, meskipun memerlukan persyaratan tingkat pendidikan yang tinggi untuk menjadi pemimpin berdasarkan pola ilmiah namun masih tetap banyak juga leader dengan tipe ini. Analisa, perhitungan rugi laba, dan studi kelayakan bisnis menjadi panutan utama seorang leader dengan kepribadian seperti ini. Penguasaan terhadap sebuah ilmu harus mutlak dikuasai sebelum dia memutuskan suatu kebijakan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Yang terakhir adalah leader yang mengedepankan pengalaman sebagai bekal utamanya dalam mengambil kebijakan manajemen. Pemimpin dengan tipikal ini pasti akan selalu ingin dikelilingi oleh manajer-manajernya yang mempunyai pengalaman tinggi pula karena dia yakin dengan pengalaman yang tinggi dapat menjadi referensi untuk memberikan panutan arah gerak dan langkah perusahaan. Dengan pengalaman yang dimiliki, diharapkan dapat memberikan historikal data atau historikal story untuk menjadi pegangan bagaimana persoalan yang relatif sama dapat dicarikan jalan keluarnya.

Kembali ke pertanyaan, Pak Suwarsono memberikan sebuah jawaban yang menurut saya sangat cerdas dan mengena. Bahwa di tengah perkembangan konsep leadership yang berkembang saat ini kunci dan resep yang jitu mengenai kepemimpinan ditentukan oleh orang itu sendiri. Oleh orang itu sendiri maksudnya berdasarkan atas bakat, genetika atau lingkungan yang membangun kepribadian orang tersebut. Apalagi saat ini hampir tiap waktu selalu dikemukakan konsep-konsep inovasi dari kepemimpinan. Yang pernah belajar tentang ilmu kepemimpinan tidak akan pernah lupa bahwa ada managerial leadership, ada lagi innovative leadership, personal leadership, extreme leadership, customer leadership, excellent leadership, kubik leadership dan mungkin yang paling baru adalah spiritual leadership. Konsep leadership berkembang sedemikian cepatnya sesuai dengan tuntutan dunia bisnia yang terus saja bergejolak mencari jati diri yang ideal tentang bagaimana seharusnya pola kepemimpinan dibangun dan dikembangkan.

Berdasarkan jawaban dari beliau tersebut akhirnya saya menyarikannya sebagai berikut bahwa tidak ada resep dan kunci yang jitu mengenai konsep kepemimpinan yang bisa diterapkan secara general pada semua orang. Generalisasi pola kepemimpinan yang dipelajari oleh seorang pembelajar justru bisa berdampak negatif pada hasil akhirnya. Pencampur adukan teori kepemimpinan tanpa melihat latar belakang kondisi bisnis yang secara riil dialaminya dapat berbalik menjadi antiklimaks. Pola kepemimpinan yang cocok dan berhasil diterapkan pada seorang individu tidak dapat dipastikan akan dapat berhasil pula apabila diterapkan kepada individu yang lain. Katakanlah seorang leader yang tumbuh dan berkembang di lingkungan bisnis yang menuntut percepatan terhadap proses-proses yang berkaitan dengan pelanggan, maka ia akan mantap tumbuh dan berkembang dalam lingkungan customer leadership. Thus, demikian pula dengan inventor yang menemukan konsep tersebut bisa jadi lingkungan bisnis saat itu memang menghendaki dan menuntut agar pola-pola yang berujung kepada kepuasan pelangganlah yang akhirnya menuntun inventor tersebut untuk akhirnya merumuskan customer leadership. Ada kemungkinan lainnya, era bisnis di awal dekade 90-an menyiratkan banyak sekali proses duplikasi dan imitasi terhadap sebuah produk. Produk atau jasa yang terbukti laku di pasaran tidak mempunyai cukup waktu untuk leading sendirian karena dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dapat dipastikan produk atau jasa tersebut ditiru oleh pihak lain. Namun kegiatan tersebut bukan dimaksudkan untuk membajak karena setelah melakukan imitasi follower tersebut langsung melakukan inovasi terhadap produk atau jasa yang baru dikerjakannya. Dikarenakan terjadi secara berulang kali untuk berbagai macam jenis produk/jasa dalam segala jenis industri akhirnya fenomena demikianlah yang membuat pesatnya perkembangan innovative leadership. Kepemimpinan yang bisa melihat apa yang telah dilakukan oleh orang lain kemudian untuk dipelajari, ditambah dan disempurnakan sesuai dengan inovasi yang ingin dihadirkan merupakan refleksi dari lahirnya innovative leadership.

DNA leadership... ya saya memakai nama tersebut untuk menyimpulkan bahwa kemampuan memimpin akan jauh lebih maksimal berkembangnya apabila mengambil sumberdaya dari dalam diri sendiri untuk mengembangkan leadership ability kita. Bahwa DNA kita telah ditakdirkan oleh Allah SWT mempunyai berjuta-juta sel yang saling bertautan dan bersimpul untuk membentuk satu karakter kepribadian yang kokoh. Oleh karena itu setidaknya DNA leadership dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
  • Pertama, lingkungan keluarga mempunyai kontribusi bagi terbentuknya DNA kita karena orang tua kita memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk DNA kita. Dapat dipastikan ada bagian dari kepribadian kita yang mengambil dari kepribadian orang tua kita, sehingga dapat dimengerti juga kenapa akhirnya ada peribahasa air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Lingkungan tempat dibesarkan juga memberikan andil dalam pembentukan wadah berkembangnya DNA leadership dalam tubuh. Lingkungan yang berkesesuaian dengan DNA akan menjadi sebuah sinergi yang luar biasa untuk membentuk sebuah ability leadership. Kebahagiaan dan kasih sayang keluarga pada waktu kecil yang dapat diberikan secara maksimal dan berkontribusi positif secara maksimal pula bagi diri kita otomatis turut serta pula menjadi wahana yang sangat berarti bagi terkaitnya kerjasama antara DNA dan lingkungan.
  • Kedua, pendidikan yang kita alami terutama pendidikan tinggi di masa usia 17-23 tahun atau saat-saat kita mengenyam pendidikan Strata 1 merupakan bagian dari waktu emas yang kita miliki. Berbagai pihak berpendapat bahwa pendidikan pada saat SMA atau saat-saat di mana siklus pubertas kita tumbuh dengan maksimal adalah bagian yang terpenting dari siklus pendidikan seseorang, namun demikian saya tetap mengambil faktor yang saya sebut pertama karena pada masa tersebut kita sudah dapat menggabungkan lebih baik antara unsur emosi dan kemampuan pikir dalam tubuh kita. Saat-saat tersebut di mana kita bisa berorganisasi dengan baik melakukan diskusi dan berinteraksi dengan para akademisi dan praktisi membuat daya pikir kita terlatih dan terasah dengan kontinyu. Pada masa itu pula kita dilatih untuk berpikir dan mengembangkan kemampuan kepemimpinan kita salah satunya melalui unit-unit kegiatan mahasiswa yang kita ikuti. Lebih lagi untuk mahasiswa yang perantauan, ada kemampuan lebih yang dimilikinya yakni ketika jauh dari keluarga dan dengan segala keterbatasan yang ada namun tetap mampu mengatur dan memimpin dirinya sendiri.
  • Ketiga, faktor paling berpengaruh terhadap pembentukan iklim yang menunjang terhadap tumbuhnya DNA leadership kita adalah saat-saat di mana kita bekerja. Namun tempat bekerja yang bagaimana yang bisa menimbulkan kontribusi positif bagi pertumbuhan kepemimpinan kita ? Tempat bekerja yang dipersyaratkan untuk keadaan tersebut tentunya adalah tempat yang kondusif sehingga mampu membangkitkan simpul-simpul energi positif dalam rangkaian otak kita hingga akhirnya dapat menghasilkan karya-karya baru yang bermanfaat bagi kita pribadi maupun tempat kita bekerja. Pengakuan atas hasil karya dan ide-ide yang terus bermunculan dari diri kita merupakan parameter lain yang dapat menyimpulkan bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang cocok bagi perkembangan DNA leadership kita. Dengan situasi dan suasana yang dibangun dengan kondisi positif sedemikian rupa mampu menghasilkan energi dimensi lain yang mampu diserap oleh DNA-DNA bayangan yang akhirnya bisa menstimulus DNA asli dalam tubuh untuk berperan aktif dalam membentuk leadership ability kita.
Jadi, untuk kesekian orang kalinya saya kembali meletakkan dasar be your self atas kepribadian anda. Apabila anda mengolahnya dengan cara benar, pada saat dan tempat yang benar itu semua bisa menjadi alat bantu prima untuk membentuk karakter yang selanjutnya akan berujung kepada kemampuan leadership kita. Sel darah yang kita miliki dan struktur DNA kita, sejatinya telah membekali dengan cukup untuk perkembangan diri kita. Selanjutnya tugas kitalah untuk bisa meracik dan meramunya untuk menjadi sebuah kekuatan dari dalam tubuh kita.

Baca Lanjutannya...
Template Designed by Douglas Bowman - Updated to New Blogger by: Blogger Team
Modified for 3-Column Layout by Hoctro