Saturday, September 29, 2007

Pengakuan Pendapatan (Revenue Recognition) dalam Akuntansi Syariah pada Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)

Kemarin siang ada sedikit diskusi saya dengan kolega, Manager Finance & Treasury untuk setting up pencatatan dan pelaporan keuangan unit usaha yang baru didirikan. Karena sudah terbiasa dengan cash basis yang dijalani sehari-hari melalui transaksi syariah, pada awalnya beliau sedikit agak kesulitan untuk menemukan logically bridging bagaimana menentukan pengakuan pendapatan dalam transaksi unit usaha yang berbeda klasifikasi dan perlakukan akuntansinya dengan jasa keuangan syariah. Namun setelah saya berikan sedikit penjelasan, prinsip cut-off, kesinambungan transaksi masa lalu serta masa depan dan kepentingan analisa maka kami menemukan titik simpul bahwa accrual basis akan diterapkan penggunaannya dalam revenue recognition pada unit usaha baru yang akan dirikan.

Apa yang kami lakukan setiap hari di Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Beringharjo Yogyakarta adalah memenuhi secara syariat atas segala aktivitas yang digelar dalam sendi ekonomi syariah. Pedoman yang kami gunakan untuk mengukur parameter ekonomis dituangkan dalam kerangka yang mengacu kepada syariat islam. Terutama bagi kita adalah penting mengetahui bagaimana cara perhitungan dan pengakuan pendapatan, yang selanjutnya akan masuk dalam proses distribusi pendapatan yang akan kita berikan sebagai bagi hasil (sebagai satu permisalan). Pola perhitungan pendapatan yang bagaimana yang harus dilalui oleh sebuah transaksi agar dapat memenuhi ketentuan sharia compliance akan kita kupas satu persatu di bawah ini.

Demikianlah penting bagi kita untuk mengklasifikasikan jenis transaksi apa saja yang dilakukan oleh lembaga berbasis ekonomi syariah. Ditarik ke belakang, jenis transaksi tentunya mengacu kepada akad yang disepakati di awal. Secara garis besar transaksi dalam perspektif eknomi syariah dibagi menjadi 2 yakni tabarru'/kebaikan (non profit transaction) dan tijarah/komersial (profit transaction). Transaksi dengan akad tabarru' adalah transaksi dimana kita tidak boleh mengambil manfaat/keuntungan/tambahan darinya. Sedangkan terhadap transaksi tijarah seperti jual beli, sewa, atau sewa beli kita diperkenankan untuk mengambil keuntungan dari transaksi tersebut dalam bentuk margin. Sedangkan terhadap transaksi usaha atau investasi, kita diperkenankan untuk mengambil keuntungan dari transaksi tersebut dengan pola bagi hasil. Agar lebih spesifik, maka pendalaman selanjutnya dari diskusi kita kali ini akan diarahkan kepada pembahasan kepada transaksi-transaksi tijarah. Keuntungan berdasarkan transaksi tijarah dapat diambil dari dua pola, yakni pola margin dan pola bagi hasil. Pola margin dapat diterapkan kepada akad murabahah (jual beli), akad ijarah (sewa), dan akan ijaroh muntahiya bi tamlik (sewa beli). Sedangkan pola bagi hasil dapat diwujudkan dari transaksi yang mempergunakan akad musyarokah, mudharabah, musytarokah, muzara'ah, dan musaqah. Prinsip musyarokah mengambil porsi lebih dari 99% dibandingkan dengan prinsip akad bagi hasil lainnya.

  • Murabahah
Adalah jual beli barang dengan harga pokok yang ditambah dengan tingkat keuntungan tertentu yang disepakati. Lembaga dalam hal ini diposisikan sebagai penjual sedangkan nasabah diposisikan sebagai pembeli. Penjual harus memberitahukan kepada pembeli berapa harga pokok barang yang akan dijual tersebut. Kemudian atas harga pokok tersebut penjual meminta keuntungan dalam jumlah tertentu yang dapat melalui proses tawar menawar dan disepakati sebagai sebuah tingkat margin. Murabahah dapat dilakukan dengan prinsip tunai, prinsip angsuran, atau prinsip jatuh tempo. Sebagian besar murabahah dilakukan melalui prinsip pesanan walaupun tidak menutup kemungkinan adanya jual beli tanpa didasarkan atas pesanan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya KJKS bukan sebagai produsen barang, namun lebih bersifat sebagai pedagang yang harus mencarikan barang pesanan tersebut kepada para produsen atau supplier yang biasanya memproduksi atau menjual barang tersebut terhadap pesanan yang diminta oleh nasabah. Jamak pula diterapkan bahwa penjual dalam hal ini KJKS dapat meminta adanya uang muka dari pembeli. Tidak dimungkiri adanya standar keuntungan dalam tingkat tertentu yang didasarkan terhadap target yang harus dicapai, namun demikian hal tersebut merupakan langkah masyruk yang diperbolehkan dalam syariat Islam.
Satu contoh transaksi murabahah coba kita kupas di sini. Pak Adnan berencana untuk membeli sebuah Laptop seharga Rp 5.000.000,-. Beliau telah mencatat spesifikasi laptop yang diinginkan melalui sebuah pameran yang dilihatnya. Atas pesanan tersebut BMT melakukan pembelian tunai kepada penjual laptop seharga Rp 5.000.000,-. BMT kemudian mengkomunikasikan harga beli tersebut kepada mitra, dan menginformasikan tingkat keuntungan yang diminta yakni sebesar Rp 1.200.000 dengan demikian harga jual laptop tersebut dari BMT kepada mitra adalah Rp 6.200.000,-. Kedua belah pihak bersepakat bahwa mitra akan melakukan pembayaran secara angsuran selama 12 bulan. Pencatatan yang dilakukan terhadap transaksi tersebut pada langkah pertama BMT harus membukukan Persediaan Barang Murabahah Rp 5.000.000,- terhadap Kas atas pembelian laptop yang dilakukannya kepada vendor laptop. Kemudian atas transaksi pembiayaannya, BMT mendebetkan rekening Piutang Murabahah sebesar Rp 6.200.000,- terhadap rekening kredit Persediaan Barang Murabahah Rp 5.000.000,- dan Pendapatan Murabahah Rp 1.200.000,-. Titik yang paling penting dalam pengakuan pendapatan dalam transaksi murabahah ini adalah bahwa secara syar'i pengakuan pendapatan sebesar Rp 1.200.000,- sudah dapat dan diperkenankan untuk dilakukan. Secara syar'i pula terjadi proses pembelian dan penjualan barang yang dilakukan oleh BMT. Angka keuntungan diperoleh bukan merupakan cerminan dari ziyadah (riba yang dipertambahkan atas harga pokok pembelian barang). Secara ketentuan syariat, bahwa harga Rp 6.200.000 harus dibayar secara penuh sehingga dengan demikian Rp 1.200.000 sudah dapat dipastikan, diakui, dan dicatat sebagai Pendapatan Murabahah. Piutang Murabahah tersebut diangsur selama 12 bulan dengan besar cicilan per bulannya Rp 517.000,-

Ijarah
Selain murabahah transaksi tijaroh yang mendapatkan keuntungan dengan pola margin adalah Ijaroh. Ijaroh adalah transaksi sewa di mana pihak BMT adalah pihak yang menyewakan sedangkan mitra dalam hal ini adalah pihak yang menyewa. Transaksi ijaroh dapat diwujudkan dalam 2 hal yakni ijaroh terhadap barang dan sewa atau jasa dan upah. Transaksi dalam sewa rumah atau sewa kantor dapat dikategorikan sebagai Ijaroh terhadap barang. Sedangkan biaya pengobatan, biaya pendidikan, atau biaya pernikahan dapat dikelompokkan sebagai transaksi Ijaroh Jasa. Contoh dapat kita kupas di sini, bahwa Pak Andri membutuhkan biaya pendidikan untuk memasukkan anaknya ke perguruan tinggi. Total biaya yang harus dikeluarkan senilai Rp 10.200.000,- hal ini dapat dilihat dari rincian tagihan pembayaran yang dikeluarkan oleh bagian akademik. Pak Andri mengajukan pembiayaan ke BMT dengan kesanggupan angsuran selama 12 bulan. Terhadap pembiayaan tersebut, BMT meminta ujrah (fee) sebesar Rp 1.224.000,- dengan demikian total yang harus dibayarkan oleh Pak Andri sebesar Rp 11.424.000,-. Nilai tersebut akan diangsur selama 12 bulan sehingga besarnya angsuran per bulan adalah Rp 952.000,-. Kali pertama pencatatan dilakukan terhadap pembayaran yang dilakukan oleh BMT kepada bagian akademik dengan pembukuan Aktiva Ijaroh terhadap Kas senilai Rp 10.200.000,-. Kemudian pada saat pencairan pembiayaan pencatatan yang dibuat oleh BMT adalah Piutang Ijaroh Jasa sebesar Rp 11.424.000,- terhadap Aktiva Ijaroh sebesar Rp 10.200.000,- dan Pendapatan Ijaroh sebesar Rp 1.224.000,-. Atas fee yang diminta yakni sebesar Rp 1.224.000,- BMT sudah dapat mengakuinya sebagai pendapatan karena sifatnya sudah pasti harus diterima.

Transaksi ketiga dari konsep Tijaroh dengan keuntungan berbasis margin adalah Ijaroh Muntahiya Bit Tamlik (IMBT). Transaksi tersebut hampir sama dan merupakan turunan dari Ijaroh dan Murabahah, namun perbedaan terletak pada hak kepemilikan barang. Ijaroh tidak disertai dengan berpindahnya hak kepemilikan barang, sedangkan Murabahah pemindahan hak kepemilikan barang dilakukan di awal. Namun tidak halnya dengan IMBT, bahwa di IMBT terdapat pengalihan hak kepemilikan yang mana hak kepemilikan tersebut baru berpindah setelah seluruh angsuran selesai dibayarkan. Secara fiqh, Murabahah dan Ijaroh menafikan keadaan finansial mitra, sehingga dalam keadaan apapun mitra atau nasabah harus tetap membayar angsuran pokok dan angsuran margin. Secara syar'i memang demikian adanya, karena itulah prinsip jual beli dan sewa. Pemikiran itulah yang akhirnya mendasari mengapa revenue recognition untuk akad Murabahah dan Ijaroh sudah dapat diakui, dicatat dan dibukukan di awal periode. Nilai angsuran yang dibayar tiap bulan terdiri dari komponen angsuran pokok dan angsuran margin dimana angsuran margin berasal dari total keuntungan yang disepakati di awal dibagi dengan jumlah bulan kesediaan untuk mengangsur.

Musyarokah
Bertolak belakang dengan pengakuan pendapatan dengan basis margin, maka pengakuan pendapatan dengan pola bagi hasil tidak diperkenankan ditentukan di awal. Musyarokah adalah transaksi dengan pola keuntungan bagi hasil yang paling banyak dipergunakan oleh lembaga kami. Musyarokah secara sederhana dapat diartikan sebagai penyertaan modal kepada usaha yang sudah berjalan. Pelaku usaha juga dipersyaratkan untuk memiliki modal sendiri selain diposisikan juga sebagai pengelolanya. Musyarokah tidak memperkenankan adanya pengakuan pendapatan di awal periode. Sifat dari musyarokah yang melekat bahwa setiap usaha pasti mempunyai risiko adalah hal yang mendasari hal tersebut. Yang ditetapkan di awal periode hanyalah sebatas nisbahnya saja (dalam satuan prosen). Sedangkan proses distribusi pendapatan diberikan sesuai dengan nisbah yang dikalikan dengan sisa hasil usaha. Yang dapat dipastikan dibayar tiap bulan adalah angsuran pokoknya saja. Dalam skema musyarokah tidak dikenal adanya angsuran margin, tidak dikenal pula adanya angsuran bagi hasil karena pada dasarnya bagi hasil yang diberikan kepada peserta musyarokah berfluktuatif tergantung sisa hasil usaha yang diperoleh. Sebagai contoh, Pak Radit mengambil fasilitas pembiayaan Musyarokah di BMT Beringharjo senilai Rp 6.000.000,- dengan pengembalian pokok bulanan selama jangka waktu 24 bulan. Nisbah yang disepakati adalah 75:25 yakni 75% dari sisa hasil usaha diperuntukkan bagi Pak Radit sedangkan 25% sisanya diberikan untuk BMT Beringharjo. Dari transaksi tersebut yang dicatat di awal pembukuan hanya Pembiayaan Musyarokah terhadap Kas sebesar Rp 6.000.000,- sehingga tampak perbedaannya dengan pencatatan pembukuan dengan konsep margin dimana di awal pencatatan sudah dapat dibukukan Pendapatan Murabahah atau Pendapatan Ijaroh. Tiap bulan Pak Radit berkewajiban untuk melakukan angsuran pokok sebesar Rp 250.000,- dan memberikan bagi hasil kepada BMT Beringharjo sebesar 25% dari keuntungan pendapatan modal yang diikutsertakan oleh BMT Beringharjo.

Tampak jelas perbedaan pengakuan pendapatan dari masing-masing akad yang disepakati. Bagi konsep keuntungan berdasarkan margin (Ijaroh dan Murabahah) berlaku prinsip Accrual Basis dimana pendapatan dicatat dan dibukukan pada saat jasa, manfaat, atau barang diserahkan. Nilai keuntungan sudah dapat dipastikan di awal, sedangkan angsuran bulanan merupakan perwakilan dari cara pembayarannya. Namun demikian tidak halnya dengan Musyarokah yang harus berlaku prinsip Cash Basis. Bagi Musyarokah yang menganut keuntungan berdasarkan bagi hasil adalah tidak mungkin untuk mencatat keuntungan di awal karena tidak ada kepastian jumlah yang harus dicatat dan memang tidak boleh memastikan terhadap keuntungan yang akan diraih. Kiranya memang demikian yang lebih adil bagi konsep usaha karena sifat yang lebih adil dan mencerminkan pembagian risiko yang lebih proporsional antara pemilik dana.

Baca Lanjutannya...

Monday, September 24, 2007

Tinjauan Manajemen Risiko dalam Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dengan bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah

Sekalian saja dari hulu ke hilir, sejak saya tuliskan Risk Management, Trade Off Between Risk and Opportunity dan Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) pada bulan lalu beberapa rekan diskusi di alam maya meminta kesediaan saya untuk menuliskan lebih implementatif lagi mengenai penerapan manajemen risiko dalam skala lebih mikro beserta segala adaptasi dan tolerasinya terhadap prinsip sama yang telah diberlakukan oleh perbankan. Mereka menganggap apa yang saya tulis masih berada di awang-awang dan belum terlalu "down to earth". Akhirnya dengan memadukan apa yang sehari-hari saya telisik di kantor saya pikir berkesesuaian juga seandainya saya melihat segala kemungkinan dari penjabaran manajemen risiko dalam Baitul Maal Wat Tamwil dengan bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS).

Sebagai salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang diatur keberadaannya melalui undang-undang, KJKS mempunyai usaha inti dan bergerak dalam kegiatan simpan pinjam. Mengumpulkan dana dari masyarakat berupa jasa simpanan dan memberikan jasa pembiayaan dengan segmentasi khusus masyarakat pada skala usaha dan kebutuhan konsumsi klasifikasi menengah kecil. Berhadapan dengan risiko tentu merupakan satu hal yang harus dihadapi namun demikian hanya lembaga yang sudah menerapkan manajemen risiko dengan baik yang dapat mewujudkan kesempatan menjadi keuntungan. Refers to my recent posting, karena perbankan sudah mempunyai cetak biru tentang manajemen risiko maka tidak ada salahnya prinsip tersebut kita jadikan pijakan untuk digunakan pada KJKS dengan segala konsekuensi tinjauannya. Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, dan Risiko Stratejik merupakan risiko yang akan kita perdalam pertama kali dalam pembahasan kali ini karena risiko tersebut menurut pandangan penulis dapat diadopsi sepenuhnya untuk diterapkan dalam KJKS.

Posisi dalam memandang likuiditas antara entitas perbankan dan KJKS dapat dipersamakan pada beberapa hal sebagai berikut :
Lembaga harus memonitor dan dapat memelihara eksposure dan struktur simpanan. Struktur pendanaan dan komposisinya berperan penting dalam pemantauan likuiditas. Simpanan masyarakat dalam bentuk berjangka tentunya lebih bisa diprediksi pencairannya daripada simpanan biasa yang dapat diambil sewaktu-waktu. Struktur simpanan juga berpengaruh terhadap biaya dana yang harus dikeluarkan. Meskipun secara global pengamatan terhadap cost of fund (CoF) dapat dilakukan secara cepat, namun pemilahan biaya dana yang timbul dari berbagai jenis pendanaan perlu diamati secara terperinci. Lembaga harus mengamati potensi dan kecenderungan adanya penarikan terbesar dalam satu jangka waktu tertentu. Berdasarkan observasi atau pengalaman yang telah pernah terjadi, lembaga sudah harus memprediksikan kebutuhan likuiditas yang harus dipenuhi untuk mengantisipasi adanya kejadian yang tidak diinginkan. Apabila perlu, worst case scenario harus disusun sebagai contingency plan bagi lembaga agar tidak timbul gejolak yang dapat mempengaruhi stabilitas operasional. Terhadap contingency funding plan yang telah disusun harus diujicobakan secara berkala untuk menentukan jumlah dana yang dapat diperoleh dari regular counterparty atau pendanaan dari pasar dengan skenario tanpa jaminan. Lembaga harus melakukan kaji ulang terhadap pola hubungan dengan nasabah, diversifikasi jenis jasa simpanan, dan kemampuan untuk menjual aset likuid, dan harus dapat memperkirakan jumlah dana yang dapat diperoleh dari pasar dalam kondisi normal ataupun sebaliknya.

KJKS juga tidak terlepas dari permasalahan yang melibatkan risiko operasional. Pada beberapa lembaga yang belum memiliki standar prosedur tetap pembiayaan, kegiatan untuk melemparkan dana ke masyarakat tentu memiliki risiko yang sangat tinggi. Bahkan pada beberapa lembaga yang sudah memiliki garis aturan main yang jelas terhadap pembiayaan masih saja terjadi kesalahan yang berakibat pada gagalnya fungsi pembiayaan. Contoh yang paling mudah dan sederhana adalah ketidaktajaman analisa oleh marketing terhadap kelayakan usaha atau overvalued yang diterapkan pada penilaian jaminan. Dalam cakupan akuntansi, kesalahan alokasi biaya, salah posting, dokumentasi bukti transaksi, repetitas transaksi yang sangat tinggi merupakan beberapa aktivitas yang perlu dimonitor secara berkala. Pada beberapa KJKS yang melakukan sistem "jemput bola" dalam mengadakan pelayanan, rentan terhadap kegagalan proses keuangan dan administrasi. Lupa atau salah catat transaksi, lupa atau salah hitung transaksi, kehilangan efektivitas waktu dan tenaga tidak dapat dipungkiri sebagai perwujudan dari risk operational archieve dari KJKS. Sistem jemput bola mengakibatkan pula kemungkinan terjadinya overdraft dan selisih marketing yang tinggi, namun untuk hal seperti ini lembaga melakukan risk sharing dan risk transfer kepada karyawan dengan klasifikasi kejadian tertentu. Proses backup data yang tidak dilakukan secara benar; terlewat waktu, salah ambil data, salah simpan, atau kegagalan proses recovery juga mempunyai andil besar dalam pemahaman risiko operasional KJKS. Dalam bidang pembiayaan, aspek dokumentasi terhadap file pembiayaan akan menjadi salah satu yang krusial ketika setiap lembar kertas bagian dari proses tersebut tidak didokumentasikan dengan benar. Penyimpanan, arsipatoris, ataupun mutasi bukti kepemilikan barang jaminan merupakan salah satu praktek dari penjelasan tersebut. Proses yang melibatkan aktivitas simpanan juga tidak luput terbebas dari risiko-risiko yang bisa menimbulkan efek terhadap operasional. Proses penyesuaian (dan penelusuran) yang tidak dilakukan dengan tuntas apabila diperlukan, terhadap perbedaan catatan antara sistem dengan buku simpanan sebagai akibat dari transaksi jemput bola akan mengakibatkan ketimpangan informasi yang disajikan kepada pemilik simpanan. Ketika seharusnya surat pemberitahuan atau surat peringatan sudah harus dikirimkan dengan melihat pada tingkat kolektibilitas yang ada, namun karena faktor lupa, tidak mengupdate secara berkala informasi kolektibilitas, atau menunda pemberiannya dengan alasan lain merupakan kejadian yang dapat meningkatkan penilaian risiko operasional.

Segala bentuk entitas yang menjalankan bisnis mau tidak mau pasti dihadapkan pada kemungkinan untuk mengalami masalah yang berpangkal tolak dari dan kepada hukum. Merupakan sebuah keuntungan ada label syariah yang menaungi KJKS, sehingga paling tidak niat untuk islah selalu dikedepankan dalam menghadapi beda pendapat. Permasalahan hukum bisa berasal dari arah mana saja yang kadang kurang diprediksi di awal. Bisa jadi akibat pembiayaan bermasalah yang akhirnya membutuhkan penyelesaian melalui jalur litigasi ketika proses musyawarah dan parate eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Di pihak lain aspek legalitas lembaga merupakan suatu pondasi dasar yang harus ditegakkan ketika lembaga tidak ingin bermasalah dan terjerembab dalam ranah hukum karena ketidaklengkapan legalisasi yang dimiliki. Perlu dipertimbangkan secara khusus karena dalam kurun waktu terakhir ini persoalan legalitas kerap sekali membawa lembaga bisnis yang berbentuk koperasi ke meja hijau. Ambiguisitas terhadap permasalahan status anggota dengan adanya status abadi calon anggota juga merupakan persoalan yang akan selalui terus menerus dialami karena memang perundangan yang dianut mengisyaratkan bahwa yang dapat dilayani adalah anggota, namun pada prakteknya sangat tidak mungkin kalau hanya melayani anggota dan dapat dipastikan lembaga tidak akan pernah bisa maju kalau hanya melayani anggota saja. Gugatan yang dialamatkan kepada lembaga dapat pula menjadi perkara yang berbahaya seandainya hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya. Salah satu sebab munculnya gugatan kepada lembaga adalah ketika tidak lengkapnya penilaian yang dilakukan terhadap jaminan. Lembaga menerima jaminan sebuah sertifikat tanah yang berdiri di atasnya bangunan. Namun bangunan tersebut dibangun bukan oleh pemilik tanah namun oleh pihak ketiga, sehingga ketika tanah akan dieksekusi pemilik bangunanpun yang merasa membangun mengajukan gugatan kepada lembaga. Permasalahan hukum bisa juga terjadi karena pengikatan agunan yang tidak sempurna. Tanah, kembali menjadi sebuah contoh kasus; sebuah pembiayaan menggunakan tanah sebagai jaminannya. Tanah tersebut masih atas nama orang tua peminjam. Tidak ada tanda tangan lepas waris dari saudara sekandung seperti yang telah dipersyaratkan. Ketika pembiayaan menjadi bermasalah dan akan dieksekusi agunannya, timbul sengketa dan gugatan dari saudara kandung lainnya tatkala mereka menyangkal bahwa mereka setuju tanah orang tua mereka dijaminkan oleh saudaranya. Dan masih banyak lagi contoh kasus yang dapat timbul dan bermuara kepada permasalahan hukum.

Risiko reputasi, dapat hinggap sewaktu-waktu terhadap lembaga keuangan baik berbentuk bank ataupun bukan bank. Erat kaitannya dengan hal ini adalah penilaian kepercayaan yang diberikan nasabah kepada lembaga. Rumor dan berita negatif baik yang berasal dari kalangan internal lembaga maupun pihak luar acap kali membawa lembaga berada dalam kondisi reputasi yang negatif. Pun itulah yang akhirnya membawa pemerintah menciptakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan memberikan jaminan kepada nasabah dengan nilai simpanan tertentu. Hal ini dilakukan pemerintah untuk mengurangi risiko jatuhnya reputasi dunia perbankan. Sebab dengan jatuhnya reputasi perbankan tamat pula perekonomian negara, yang mau tidak mau harus kembali ke titik nihil seperti yang dialami negara ini beberapa waktu lalu seiring dengan krisis ekonomi yang juga melanda kalangan perbankan. Bagi KJKS, sisi penilaian reputasi menjadi semakin lebih berat karena posisi dan status koperasi tidak terbantahkan berada di bawah posisi dan status perbankan. Sebagai sesama lembaga yang sama-sama bergerak dalam jasa inti simpan pinjam, kepercayaan masyarakat menjadi dasar terbentuknya reputasi positif bagi lembaga. Tidak ada lembaga penjamin simpanan bagi KJKS seperti layaknya LPS bagi perbankan mau tidak mau juga menimbulkan permasalahan reputasi tersendiri bagi KJKS. Tidak adanya pengawas yang mampu mengawasi secara rigid dan kontinyu terhadap operasional KJKS seperti mana layaknya BI mengawasi perbankan membuat masyarakat belum sepenuhnya meletakkan kepercayaan kepada KJKS. Berita yang beruntun dalam suatu masa yang menyebutkan banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh LKBB berbadan hukum koperasi mau tidak mau membuat pengurus dan pengelola KJKS harus bekerja ekstra keras agar risiko reputasi yang ada dan melekat pada KJKS dapat dihindari seminimal mungkin.

Seperti layaknya risiko reputasi, risiko stratejik merupakan risiko berlatar belakang manajemen yang bisa menghinggapi entitas bisnis apapun. Risiko stratejik dapat muncul apabila lembaga tidak melakukan perencanaan strategis, atau terlambat melakukan perubahan strategi dikarenakan lapuk atau usangnya strategi yang sedang dijalankan. Pada lingkungan bisnis, perubahan dapat terjadi dalam segala aspek tanpa dapat diduga-duga sebelumnya, dari mulai perubahan segmentasi pasar, perubahan strategi marketing, perubahan produk, perubahan struktur captive market, perubahan di bidang sumber daya manusia, maupun bentuk-bentuk perubahan lainnya. Manajemen sebenarnya telah menerapkan strategi di awal tahun untuk mengantisipasi gejolak yang mungkin timbul dari perubahan tersebut. Namun yang kurang disadari dan disesuaikan dengan cepat oleh manajemen adalah apabila keadaan yang terjadi tidak sesuai dengan skenario yang telah diprediksikan, sehingga keadaan tersebut memaksa manajemen untuk merubah haluan dengan mengganti strategi. Pada titik krusial inilah risiko strategi dapat muncul karena kurang tanggap dan kurang cepatnya manajemen melakukan "strategy refreshing". Sederhana, sebagai sebuah contoh manajemen seharusnya secara cepat merubah cara dan segmentasi funding ketika sudah dirasa model dan pola yang digunakan sudah pada tahap stagnasi dan mencapai titik lelah. Demikian pula respek manajemen terhadap marjin dan nisbah bagi hasil yang ternyata harus dirubah seakan menjadi pisau bermata dua bagi para pengambil keputusan. Apabila manajemen secara cepat tanggap mampu melakukan perubahan strategi dengan bersedia untuk menurunkannya maka pisau tersebut akan menjadi senjata untuk mengungguli lawan-lawan, namun apabila ternyata langkah yang seharusnya diambil namun dilakukan terlambat atau malah justru tidak dilakukan maka pisau tersebut akan berbalik membunuh kita sendiri dengan kurang tanggapnya kita menyesuaikan haluan untuk merubah strategi.

Meskipun sudah ada guideline yakni cetak biru perbankan mengenai manajemen risiko, namun masih saja banyak KJKS yang enggan untuk mencoba menerapkannya. Alih-alih untuk menerapkan, mencoba belajar saja susahnya minta ampun, mungkin dianggap kurang bermanfaat atau masih terlalu muluk-muluk bagi mereka sehingga pemanfaatan manajemen risiko untuk mengolah risiko menjadi opportunity enggan dilaksanakan. Tidak ada salahnya untuk segera memperkenalkan platform manajemen risiko kepada manajemen anda, karena tidak ada yang negatif ataupun sia-sia dari pemanfaatannya. Apalagi ketika dunia bisnis makin kompleks dan semakin menuntut adanya aware terhadap berbagai hal baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung terhadap operasional lembaga, hingga keadaan tersebut menyiratkan adanya kebutuhan mengenai manajemen risiko yang harus segera diaplikasikan.

Baca Lanjutannya...
Template Designed by Douglas Bowman - Updated to New Blogger by: Blogger Team
Modified for 3-Column Layout by Hoctro