Sunday, May 27, 2007

Teknologi informasi sebagai pembentuk bangunan Span of Control

Beberapa waktu yang lalu Wakil Direktur yang menjadi nahkoda tim Studi Kelayakan Bisnis (SKB) perusahaan kami memaparkan hasil SKB di Kalimantan Selatan kepada jajaran manajemen pusat yang lainnya. SKB ini dilaksanakan dalam rangka penilaian dan penjajakan kemungkinan didirikannya kantor cabang di daerah Balikpapan, Bontang, dan Sangata. Benang merah yang saya ambil di sini dari pemaparan beliau adalah investment model yang akan diterapkan kemungkinan besar lain dengan kantor cabang yang sudah berdiri karena dimensi span of control yang berbeda sebagai salah satu pertimbangan. Faktor jarak yang cukup jauh dari manajemen pusat maupun kantor cabang yang lain merupakan salah satu kendalanya. Beberapa kantor cabang kami yang lain menggunakan private placement dan beberapa lainnya lagi menggunakan strategic placement dalam model investasinya. Kedua model tersebut untuk sementara tidak dimasukkan dalam kemungkinan pengambilan model investasi pada kantor cabang yang akan didirikan di Balikpapan. Kesimpulan kami, model investasi yang akan digunakan adalah synergy investment sebagai bahasa halus yang lain dari model franchise. Memang agak sedikit polemik ketika kata franchise harus dipergunakan dalam manajemen kami manajemen lembaga keuangan mikro syariah selain karena pemahaman yang belum begitu mendalam, praktek franchise jarang pula dipergunakan untuk lembaga keuangan yang mengkhususkan kegiatannya kepada kegiatan saving dan financing sehingga daripada referensinya kurang akan lebih baik bagi kami untuk sedikit melakukan modifikasi sehingga jadilah konsep synergy investment.

Underline yang akan saya ambil dalam kesempatan ini adalah span of control. Span of control yang paling gampang dialihbahasakan menjadi istilah rentang kendali mengacu kepada berapa orang maksimal subordinates (lebih santun mengistilahkannya demikian daripada staff atau bawahan) yang dapat dikontrol secara efektif dalam satu rentang struktur. Beberapa penjelasan lain mengacu kepada pengertian berapa orang subordinates yang melapor kepada superordinates (istilah lunak dari manager atau atasan) dalam satu rentang struktur. Span of control sendiri pertama kali dikembangkan teorinya oleh V. A. Graicunas seorang management consultant yang berdomisili di Paris, Perancis pada tahun 1933. Kemudian salah satu teori dan rumusnya mengenai Span of Control diedit dan disempurnakan kembali oleh Luther Gulick dan Lyndall F. Urwick melalui artikel mereka yang diterbitkan oleh Harvard Business Review pada Bulan Mei 1956 dengan judul "The Manager's Span of Control". Ternyata dalam artikel tersebut dijelaskan dan diuraikan dengan detil bahwa Span of Control yang efektif dapat diperoleh melalui rumus matematika. Jadi dengan jumlah personal berapa, jumlah direct function berapa, jumlah cross function berapa, dan beberapa variable terukur lainnya dapat dihitung berapa jumlah orang efektif yang dapat dijadikan subordinates oleh seorang superordinates.

Dari pengalaman selama ini yang saya jalani dan pelajari, beberapa faktor penentu yang menjadikan Span of Control berfungsi secara optimal adalah :
  1. Lingkungan dan iklim kerja dari subordinates. Lingkungan di sini mengacu kepada suasana kerja, keamanan kerja, perangkat kerja yang dipergunakan, lebih banyak bekerja di dalam atau di luar ruangan, tingkat stressing dan beberapa indikator lainnya. Lingkungan yang kondusif bagi subordinates menciptakan peluang yang besar terhadap berfungsinya span of control secara optimum.
  2. Skill dari subordinates, baik skill yang didapat sebagai seorang tenaga terdidik maupun sebagai seorang tenaga terlatih. Skill yang dipunyai secara proporsional akan sangat membantu pencapaian efektivitas span of control karena dengan ditunjang skill yang memadai subordinates dapat melakukan fungsi kerjanya tidak hanya sebatas sebagai sebuah ritual hafalan akan tetapi dia menjiwai pekerjannya sehingga dapat bekerja secara dinamis dan efektif meskipun kontrol tidak dilakukan secara ketat.
  3. Skill dari para superordinat karena bagaimanapun superordinat adalah posisi yang harus ada dalam sebuah skema span of control. Tidak mungkin terjadi sebuah span of control kalau tidak ada posisi superordinat. Oleh karena itu skill superordinat yang berkompeten sangat dibutuhkan.
  4. Adanya dokumen yang menjadi pedoman bagi subordinates. Manajemen mengejawantahkan hal ini dalam pembuatan Standar Operational Prosedur (SOP) atau Prosedur Tetap (Protap) dalam setiap fungsi kerja dari sebuah organisasi. SOP atau Protap berfungsi sebagai dokumentasi dan pusat rujukan apabila ditemukan sebuah kasus yang memerlukan referensi. SOP berfungsi pula sebagai guideline atau acuan bagaimana proses sebuah fungsi kerja dapat ditegakkan. Namun demikian SOP/Protap harus selalu dinamis, egaliter terhadap kondisi, dan flexible terhadap keadaan yang artinya apabila suatu proses dapat disederhanakan dan dapat meningkatkan kenyamanan tanpa harus mengurangi keamanan maka sederhanakanlah secepatnya. Bagaimana SOP didokumentasikan dan disesuaikan dengan perkembangan keadaan berdasarkan tingkat naik turunnya tingkat risiko (risk grade) harus terus dilakukan oleh perusahaan yang ingin span of controlnya berjalan dengan tanpa hambatan berarti. Kalimat-kalimat di atas mencerminkan bahwa SOP berperan serta aktif dalam pembentukan span of control yang berdaya guna.
  5. Teknologi informasi yang reliable dan available. Mengapa reliable karena banyak sekali moda teknologi informasi yang bertebaran saat ini yang menawarkan segala janji kemudahan kepada pengguna namun ternyata setelah ditelaah teknologi informasi tersebut sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan oleh sebuah perusahaan yang sudah terlanjur mengaplikasikannya. Misalnya sebuah perusahaan sebetulnya hanya membutuhkan teknologi informasi sampai takaran/grade 6 saja, namun ternyata TI yang dibelinya berklasifikasi 7 atau 8 dengan demikian telah terjadi kemubaziran. Intinya dari kata reliable adalah sesuai dengan kebutuhan dan telah merupakan hasil kompromistis terbaik antara kebutuhan dan dana yang tersedia. Sedangkan available mengacu kepada ketersediaan karena TI selalu dikaitkan dengan infrastruktur yang harus menopang terselenggaranya TI tersebut hingga acapkali jasa yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan TI belum dapat segera diaplikasikan karena menunggu pembangunan infrastruktur yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Dari 5 faktor di atas, khusus akan saya bahas tentang faktor yang ke 5 yakni peran serta dan posisi teknologi informasi dalam membentuk span of control yang efektif. Terlalu banyak sekarang orang yang menyebut istilah teknologi informasi tapi bingung juga ketika harus terpaksa mendefinisikannya. Agar lebih mudah dan simpel sesuai dengan namanya teknologi informasi dapat diartikan sebagai pilihan cara, alat atau media yang digunakan untuk saling bertukar informasi. Entah apapun itu wujudnya baik chatting, video conference, video streaming atau push to talk intinya adalah cara berkomunikasi. Demikian juga bentuk teknologinya baik itu VPN, MPLS, Frame Relay, DVB-IP, LAN Dial semuanya refers kepada alat yang kita gunakan untuk berkomunikasi. Dengan teknologi informasi, kuantitas dan kualitas informasi yang dipertukarkan dapat ditingkatkan. Sebelumnya akan saya beri batasan dulu bahwa teknologi informasi yang akan kita wacanakan saat ini adalah teknologi informasi untuk kepentingan koordinasi dan kontrol kepentingan internal. Maksudnya, bisa juga kita membutuhkan teknologi informasi yang tidak ada hubungannya dengan span of control. Misalnya sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang forex dan future index jelas membutuhkan teknologi informasi untuk bisa mengakses informasi real time dari berbagai bursa saham dan bursa berjangka internasional, jelas tidak ada korelasinya dengan span of control.

Teknologi biasa digunakan oleh lalu lintas data yang menyajikan informasi tentang angka dari berbagai macam jenis kepentingan. Kebanyakan banyak pihak yang baru memikirkan peningkatan teknologi informasi setelah membutuhkan percepatan penyampaian informasi dari lingkungan internal perusahaan yang terkendala jarak dan waktu apabila digunakan cara penyampaian informasi yang konvensional. Ingat, merpati pos dan surat juga merupakan jenis dari teknologi informasi juga. Jadi ketika ada perusahaan yang menginginkan sampainya informasi yang tetap berkualitas kepada manajemen dalam kecepatan yang relatif lebih baik, secara langsung perusahaan tersebut sudah harus memulai kajian tentang span of control. Karena dapat dipastikan perusahaan tersebut harus menerima informasi yang relatif cepat dan tetap berkualitas dari unit bisnis atau kantor cabangnya. Industri perbankan tidak bisa mengelak dari keharusan untuk menyajikan informasi real rime sehingga kebutuhan terhadap teknologi informasi yang reliable dan available tidak dapat dihindari. Erat kaitan sebagai supply and demand antara menyajikan data yang akurat dengan tantangan kendala jarak dan waktu serta teknologi informasi yang berkembang.

Selama ini yang lazim teknologi informasi dipergunakan untuk sesuatu yang berhubungan dengan eksak atau nilai. Perbankan membutuhkan TI salah satunya untuk kelancaran mesin-mesin ATM, sehingga transaksi bisa dilakukan dengan serta merta dan bank dapat melakukan kontrol terhadap kantor cabangnya untuk memastikan tidak terjadi kelebihan tarik (overdraft) karena sistem ATM sudah real time. Demikian juga dengan TI yang dibangun oleh perusahaan penerbit, bahwa kantor cabang atau point of sales dapat melaporkan sales report secara responsif sehingga manajemen pusat dapat melakukan kontrol terhadap strategi marketing yang diambil.

Namun demikian, ada pula berbagai kekurangan yang tidak dapat dilayani oleh teknologi informasi. Penulis mengidentifikasi beberapa hal yang sekiranya tidak mampu ditangani oleh teknologi informasi.
  • Pertama, teknologi informasi tidak dapat menyentuh hal yang berbau humanis. Misalnya kelakuan dan perlakuan karyawan. Dalam span of control hal ini sangat penting, dimana kelakuan dan perlakuan karyawan harus tetap dalam kendali manajemen pusat. Meskipun melalui teknologi data dapat disajikan secara cepat sehingga manajemen bisa mengambil keputusan dengan relatif lebih cepat pula dan kemudian mendelegasikannya kembali ke cabang, manajemen pusat tidak dapat langsung mendeteksi apakah subordinates langsung mengambil reaksi positif terhadap keputusan tersebut. Tidak langsung melakukan apa yang telah diputuskan dengan sengaja, melakukan hasutan kepada sesama subordinates untuk menunda pekerjaan, atau melakukan tindak kontra produktif lainnya merupakan hal-hal yang tidak dapat direspek secara langsung oleh teknologi informasi.
  • Kedua, teknologi informasi hanya dapat berfungsi secara maksimal apabila bentuk data tersaji secara numerik atau diinput langsung ke dalam sistem. Teknologi informasi memerlukan proses kuantifikasi terlebih dahulu agar dapat memberikan kontribusi yang nyata. Misalnya terhadap beberapa form kontrol yang dipergunakan untuk pengendalian sistem dari berbagai divisi yang karena karakteristiknya dengan perusahaan harus diisi dengan manual atau tulisan tangan harus terlebih dahulu dikuantifikasikan agar dapat diproses oleh teknologi informasi. Demikian pula laporan-laporan cabang yang berbentuk tulisan baik berupa naratif atau deskriptif penjelasan terhadap hal tertentu tidak dapat pula langsung diterima oleh sistem tanpa melalui proses kuantifikasi karena teknologi informasi hanya mengenal angka 0 dan 1 dalam teknis operasionalnya. Paling banter kita hanya dapat melakukan scanning terhadap form-form tersebut dan mengirimnya melakukan attachment e-mail.
  • Ketiga, manajemen sering kali tidak tahu kapan sebaiknya melakukan applikasi terhadap sebuah teknologi informasi. Saya contohkan di atas seharusnya sebuah perusahaan membutuhkan teknologi informasi cukup hanya jenis 6 tetapi akhirnya membelanjakan jenis teknologi grade 7 atau 8 yang secara finansial lebih mahal. Ahli teknologi informasi yang masih terlalu spesial seringkali memberikan pandangan yang terlalu teknis dan terlalu self opinion terhadap permintaan suatu aplikasi. Ini bisa dipahami karena masih sedikitnya tenaga yang mumpuni mengakibatkan self dan demand jadi tidak seimbang. Masih banyak dijumpai konsultan IT yang menawarkan teknologi informasi yang over specified terhadap kebutuhan kliennya dengan banyak motif. Motif kebanyakan adalah dengan spesifikasi yang lebih tinggi nilai proyek akan lebih tinggi pula daripada tingkat kebutuhan. Motif lainnya adalah kurang pahamnya juga para konsultan IT untuk menakar seberapa jauh tingkat kebutuhan penggunanya. Nah dalam hal ini highlight kita adalah manajemen perusahaan sendiri yang perlu belajar pula mengenai seberapa jauh tingkat kebutuhan jenis teknologi informasi yang diinginkan sehingga dapat menghindari semaksimal mungkin investasi teknologi informasi yang mubazir.
  • Keempat, fuzzy logic atau artificial intellegence teknologi informasi belum dapat mengidentifikasi ranah emosi atau psikologi karyawan. Hal ini sebenarnya sangat penting karena sebagai brainware, subordinates mau tidak mau harus mengolah daya pikir dan emosinya untuk melaksanakan sebuah keputusan manajemen. Apalagi akhir-akhir ini berbagai kajian kerja memberikan kesimpulan tentang pentingnya kondisi emosional dan spiritual dalam melaksanakan pekerjaan . Piranti perangkat lunak yang mampu mengakomodasi kepentingan ini masih sangat mahal harganya dan tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan yang ada.
Bahwa mengukur dan mengidentifikasi tingkat kebutuhan kita terhadap teknologi informasi sangat perlu kita kuasai sebagai manajemen modern. Dengan pertimbangan masih mahalnya teknologi informasi namun sudah perlunya kita mempergunakan alat bantu tersebut mengharuskan kita untuk memilah alternatif mana yang sesuai dengan kondisi internal. Span of control sebagai tema kita kali ini tidak mengharuskan jenis teknologi informasi apa yang kita harus pergunakan, namun menekankan apabila kita dapat dengan tepat memilih teknologi informasi apa yang sesuai dengan kebutuhan hal tersebut dapat memberikan kontribusi yang luar biasa bagi rentang kendali manajemen kita.




Baca Lanjutannya...

Wednesday, May 9, 2007

That’s What We Called DNA Leadership

Ada salah satu peserta pada Spiritual and Professional Leadership Training bagi praktisi BMT Se-Indonesia yang menanyakan kepada pemateri Dr. Suwarsono Muhammad bagaimana kunci atau resep pola kepemimpinan yang berhasil dan berdaya guna yang dapat kita aplikasikan pada diri kita. Sebelumnya Dr. Suwarsono Muhammad memberikan materi tentang pola kepemimpinan bagi seorang leader yang bisa berdasarkan pola visi (visioner), pola ilmiah (science), dan pola pengalaman (experience). Jadi seorang leader dapat mengambil keputusan berlandaskan visi yang dimilikinya. Biasanya leader yang begini ini jago dalam kerangka konseptual dan berpikir ke depan membawa skenario keadaan perusahaan seolah-olah berada dalam situasi dan kondisi tertentu sebelum memberi keputusan atau memecahkan masalah.Pola kerja berdasarkan insting dan intuisi melatar belakangi pemimpin tipe ini dalam setiap langkah yang diambil. Lain halnya dengan pola ilmiah, meskipun memerlukan persyaratan tingkat pendidikan yang tinggi untuk menjadi pemimpin berdasarkan pola ilmiah namun masih tetap banyak juga leader dengan tipe ini. Analisa, perhitungan rugi laba, dan studi kelayakan bisnis menjadi panutan utama seorang leader dengan kepribadian seperti ini. Penguasaan terhadap sebuah ilmu harus mutlak dikuasai sebelum dia memutuskan suatu kebijakan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Yang terakhir adalah leader yang mengedepankan pengalaman sebagai bekal utamanya dalam mengambil kebijakan manajemen. Pemimpin dengan tipikal ini pasti akan selalu ingin dikelilingi oleh manajer-manajernya yang mempunyai pengalaman tinggi pula karena dia yakin dengan pengalaman yang tinggi dapat menjadi referensi untuk memberikan panutan arah gerak dan langkah perusahaan. Dengan pengalaman yang dimiliki, diharapkan dapat memberikan historikal data atau historikal story untuk menjadi pegangan bagaimana persoalan yang relatif sama dapat dicarikan jalan keluarnya.

Kembali ke pertanyaan, Pak Suwarsono memberikan sebuah jawaban yang menurut saya sangat cerdas dan mengena. Bahwa di tengah perkembangan konsep leadership yang berkembang saat ini kunci dan resep yang jitu mengenai kepemimpinan ditentukan oleh orang itu sendiri. Oleh orang itu sendiri maksudnya berdasarkan atas bakat, genetika atau lingkungan yang membangun kepribadian orang tersebut. Apalagi saat ini hampir tiap waktu selalu dikemukakan konsep-konsep inovasi dari kepemimpinan. Yang pernah belajar tentang ilmu kepemimpinan tidak akan pernah lupa bahwa ada managerial leadership, ada lagi innovative leadership, personal leadership, extreme leadership, customer leadership, excellent leadership, kubik leadership dan mungkin yang paling baru adalah spiritual leadership. Konsep leadership berkembang sedemikian cepatnya sesuai dengan tuntutan dunia bisnia yang terus saja bergejolak mencari jati diri yang ideal tentang bagaimana seharusnya pola kepemimpinan dibangun dan dikembangkan.

Berdasarkan jawaban dari beliau tersebut akhirnya saya menyarikannya sebagai berikut bahwa tidak ada resep dan kunci yang jitu mengenai konsep kepemimpinan yang bisa diterapkan secara general pada semua orang. Generalisasi pola kepemimpinan yang dipelajari oleh seorang pembelajar justru bisa berdampak negatif pada hasil akhirnya. Pencampur adukan teori kepemimpinan tanpa melihat latar belakang kondisi bisnis yang secara riil dialaminya dapat berbalik menjadi antiklimaks. Pola kepemimpinan yang cocok dan berhasil diterapkan pada seorang individu tidak dapat dipastikan akan dapat berhasil pula apabila diterapkan kepada individu yang lain. Katakanlah seorang leader yang tumbuh dan berkembang di lingkungan bisnis yang menuntut percepatan terhadap proses-proses yang berkaitan dengan pelanggan, maka ia akan mantap tumbuh dan berkembang dalam lingkungan customer leadership. Thus, demikian pula dengan inventor yang menemukan konsep tersebut bisa jadi lingkungan bisnis saat itu memang menghendaki dan menuntut agar pola-pola yang berujung kepada kepuasan pelangganlah yang akhirnya menuntun inventor tersebut untuk akhirnya merumuskan customer leadership. Ada kemungkinan lainnya, era bisnis di awal dekade 90-an menyiratkan banyak sekali proses duplikasi dan imitasi terhadap sebuah produk. Produk atau jasa yang terbukti laku di pasaran tidak mempunyai cukup waktu untuk leading sendirian karena dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dapat dipastikan produk atau jasa tersebut ditiru oleh pihak lain. Namun kegiatan tersebut bukan dimaksudkan untuk membajak karena setelah melakukan imitasi follower tersebut langsung melakukan inovasi terhadap produk atau jasa yang baru dikerjakannya. Dikarenakan terjadi secara berulang kali untuk berbagai macam jenis produk/jasa dalam segala jenis industri akhirnya fenomena demikianlah yang membuat pesatnya perkembangan innovative leadership. Kepemimpinan yang bisa melihat apa yang telah dilakukan oleh orang lain kemudian untuk dipelajari, ditambah dan disempurnakan sesuai dengan inovasi yang ingin dihadirkan merupakan refleksi dari lahirnya innovative leadership.

DNA leadership... ya saya memakai nama tersebut untuk menyimpulkan bahwa kemampuan memimpin akan jauh lebih maksimal berkembangnya apabila mengambil sumberdaya dari dalam diri sendiri untuk mengembangkan leadership ability kita. Bahwa DNA kita telah ditakdirkan oleh Allah SWT mempunyai berjuta-juta sel yang saling bertautan dan bersimpul untuk membentuk satu karakter kepribadian yang kokoh. Oleh karena itu setidaknya DNA leadership dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
  • Pertama, lingkungan keluarga mempunyai kontribusi bagi terbentuknya DNA kita karena orang tua kita memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk DNA kita. Dapat dipastikan ada bagian dari kepribadian kita yang mengambil dari kepribadian orang tua kita, sehingga dapat dimengerti juga kenapa akhirnya ada peribahasa air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Lingkungan tempat dibesarkan juga memberikan andil dalam pembentukan wadah berkembangnya DNA leadership dalam tubuh. Lingkungan yang berkesesuaian dengan DNA akan menjadi sebuah sinergi yang luar biasa untuk membentuk sebuah ability leadership. Kebahagiaan dan kasih sayang keluarga pada waktu kecil yang dapat diberikan secara maksimal dan berkontribusi positif secara maksimal pula bagi diri kita otomatis turut serta pula menjadi wahana yang sangat berarti bagi terkaitnya kerjasama antara DNA dan lingkungan.
  • Kedua, pendidikan yang kita alami terutama pendidikan tinggi di masa usia 17-23 tahun atau saat-saat kita mengenyam pendidikan Strata 1 merupakan bagian dari waktu emas yang kita miliki. Berbagai pihak berpendapat bahwa pendidikan pada saat SMA atau saat-saat di mana siklus pubertas kita tumbuh dengan maksimal adalah bagian yang terpenting dari siklus pendidikan seseorang, namun demikian saya tetap mengambil faktor yang saya sebut pertama karena pada masa tersebut kita sudah dapat menggabungkan lebih baik antara unsur emosi dan kemampuan pikir dalam tubuh kita. Saat-saat tersebut di mana kita bisa berorganisasi dengan baik melakukan diskusi dan berinteraksi dengan para akademisi dan praktisi membuat daya pikir kita terlatih dan terasah dengan kontinyu. Pada masa itu pula kita dilatih untuk berpikir dan mengembangkan kemampuan kepemimpinan kita salah satunya melalui unit-unit kegiatan mahasiswa yang kita ikuti. Lebih lagi untuk mahasiswa yang perantauan, ada kemampuan lebih yang dimilikinya yakni ketika jauh dari keluarga dan dengan segala keterbatasan yang ada namun tetap mampu mengatur dan memimpin dirinya sendiri.
  • Ketiga, faktor paling berpengaruh terhadap pembentukan iklim yang menunjang terhadap tumbuhnya DNA leadership kita adalah saat-saat di mana kita bekerja. Namun tempat bekerja yang bagaimana yang bisa menimbulkan kontribusi positif bagi pertumbuhan kepemimpinan kita ? Tempat bekerja yang dipersyaratkan untuk keadaan tersebut tentunya adalah tempat yang kondusif sehingga mampu membangkitkan simpul-simpul energi positif dalam rangkaian otak kita hingga akhirnya dapat menghasilkan karya-karya baru yang bermanfaat bagi kita pribadi maupun tempat kita bekerja. Pengakuan atas hasil karya dan ide-ide yang terus bermunculan dari diri kita merupakan parameter lain yang dapat menyimpulkan bahwa tempat tersebut merupakan tempat yang cocok bagi perkembangan DNA leadership kita. Dengan situasi dan suasana yang dibangun dengan kondisi positif sedemikian rupa mampu menghasilkan energi dimensi lain yang mampu diserap oleh DNA-DNA bayangan yang akhirnya bisa menstimulus DNA asli dalam tubuh untuk berperan aktif dalam membentuk leadership ability kita.
Jadi, untuk kesekian orang kalinya saya kembali meletakkan dasar be your self atas kepribadian anda. Apabila anda mengolahnya dengan cara benar, pada saat dan tempat yang benar itu semua bisa menjadi alat bantu prima untuk membentuk karakter yang selanjutnya akan berujung kepada kemampuan leadership kita. Sel darah yang kita miliki dan struktur DNA kita, sejatinya telah membekali dengan cukup untuk perkembangan diri kita. Selanjutnya tugas kitalah untuk bisa meracik dan meramunya untuk menjadi sebuah kekuatan dari dalam tubuh kita.

Baca Lanjutannya...
Template Designed by Douglas Bowman - Updated to New Blogger by: Blogger Team
Modified for 3-Column Layout by Hoctro