Friday, August 31, 2007

Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

Kurang puas rasanya kalau hanya menulis artikel manajemen risiko dalam satu kesempatan. Setelah artikel terdahulu saya mencoba sedikit berbicara mengenai adanya imbal balik antara kesempatan dan peluang yang ingin diraih dengan risiko yang ditanggung, dalam kesempatan ini kita mencoba belajar untuk masuk ke hal yang sedikit lebih dalam, yakni manajemen risiko ditinjau dari praktek Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Menarik untuk disimak bahwa lembaga keuangan mikro syariah sudah menjamur dan dalam masa tumbuh berkembang namun masih sedikit sekali atau kalau boleh dikatakan agak berani belum ada model manajemen risiko secara baku yang diterapkan seragam untuk jenis jasa yang sama.

Tidak dapat dipisahkan dari tinjauan harafiahnya bahwa terdapat beberapa pilar yang menjadi konstruktor berdirinya manajemen risiko untuk LKMS. Yang pertama, kita sepakat tentunya untuk menganggap LKMS sebagai salah satu wujud lembaga keuangan yang mempunyai jasa simpanan dan pembiayaan. Jasa simpanan dan pembiayaan yang diberikan mirip atau bahkan dapat dikatakan sama dengan jasa yang diberikan oleh jasa perbankan pada umumnya. Dengan demikian risiko-risiko yang dimiliki oleh perbankan ada yang nantinya diadaptasi oleh LKMS. Sesuatu yang sangat wajar kiranya apalagi selama ini beberapa operasional masih mengacu kepada praktek yang dilakukan oleh kalangan perbankan. Untuk beberapa kali kesempatan tidak canggung pula dipergunakan istilah “small and micro banking” untuk memberikan sematan kepada LKMS. Meskipun sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) namun LKMS justru paling mirip operasionalnya dengan bank dibanding LKBB lainnya. Konstruksi kedua yang membangun manajemen risiko LKMS adalah cakupan kegiatan jasa yang dilakukan yakni sektor Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM). Beberapa pertimbangan yang menyangkut risiko perlu dicermati dengan seksama ketika ada perlakuan yang berbeda ketika jasa harus diberikan kepada sektor UMKM. Melihat prinsip 5C sebagai penerapan kebijakan yang sehat dalam pemberian pembiayaan, mau tidak mau kita harus bisa melihat pula perbedaan antara karakter UMKM yang akan kita biayai dengan karakter dengan nasabah perbankan biasa. Demikian juga ketika penilaian jaminan, tentunya kita tidak dapat mengaplikasikan seluruh ketentuan penjaminan agunan yang diterapkan oleh perbankan. Ada risiko yang perlu dimainkan dan disepakati bersama karena yang kita layani adalah UMKM. Demikian juga apabila ketika melihat unsur pembangun ketiga dari manajemen risiko LKMS yakni sharia compliance atau kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah yang telah ditetapkan. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dipergunakan sebagai saringan yang paling membedakan dengan berbagai jenis penyedia jasa layanan keuangan lainnya. Pembiayaan dan simpanan yang dilakukan harus berdasar atas prinsip-prinsip syariah. LKMS mempunyai risiko terhadap pandangan ini yakni ketika masyarakat masih perlu mendapatkan edukasi lagi sehingga dengannya menjadi paham. Pemahaman dari masyarakat dibutuhkan agar masyarakat bisa tahu jenis kebutuhan mereka mana saja yang dapat dilayani oleh LKMS dan dengan akad bagaimana kebutuhan mereka dapat dipenuhi.

Untuk memudahkan belajar bersama mari kita coba lihat terlebih dahulu mengenai pedoman standar penerapan manajemen risiko bagi bank yang mencakup :
  • Risiko Kredit, yakni risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) untuk memenuhi kebutuhannya dalam melakukan pembayaran. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti pembiayaan, treasury, atau investasi yang tercatat dalam pembukuan bank.
  • Risiko Pasar, yakni risiko yang terjadi akibat berubahnya variabel dari portfolio yang dimiliki oleh bank. Variabel yang berubah biasanya adalah suku bunga dan nilai tukar mata uang. Risiko pasar dapat bersumber dari kegiatan investasi bank dalam bentuk surat berharga, pengadaan valas atau penempatan pada lembaga keuangan lainnya.
  • Risiko Likuiditas, yakni risiko yang dimiliki karena bank gagal melakukan pembayaran terhadap kewajibannya yang jatuh tempo. Risiko dapat bersumber dari aktivitas bank dalam bidang perkreditan, penyediaan dana, dan instrumen hutang.
  • Risiko Operasional, adalah risiko yang timbul karena tidak berfungsinya sistem internal yang berlaku, kesalahan manusia, atau kegagalan sistem. Sumber terjadinya risiko operasional paling luas dibanding risiko lainnya yakni selain bersumber dari aktivitas di atas juga bersumber dari kegiatan operasional dan jasa, akuntansi, sistem tekhnologi informasi, sistem informasi manajemen atau sistem pengelolaan sumber daya manusia.
  • Risiko Hukum, timbul dari kegiatan yuridis antara lain dalam timbulnya tuntutan hukum dari pihak ketiga, ketiadaan peraturan perundangan yang mendukung, kelemahan pengikatan, atau pengikatan jaminan yang tidak sempurna sehingga bank tidak dapat melakukan tindakan likuidasi. Risiko ini dapat timbul dari aktivitas pembiayaan maupun aktivitas operasional.
  • Risiko Reputasi, adalah risiko yang timbul dari perpepsi masyarakat atau publikasi negatif terhadap kondisi bank.
  • Risiko Stratejik, adalah risiko yang timbul apabila bank salah menerapkan strategi, terlambat merubah strategi, kurang responsif terhadap strategi yang dijalankan untuk mencapai sebuah tujuan. Pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat juga salah satu penyebab timbulnya risiko strategik.
  • Risiko Kepatuhan, adalah risiko yang bersinggungan erat dengan risiko yang lain. Pada dasarnya risiko kepatuhan terkait dengan risiko yang timbul apabila kita tidak mentaati regulasi yang ada. Misalnya risiko kredit dapat muncul apabila kita tidak dapat memenuhi ketentuan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM), Kualitas Aktiva Produktif (KAP), Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP) atau Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Sedangkan risiko operasional dapat dapat muncul apabila perbankan mengabaikan ketentuan Posisi Devisa Netto (PDN). Risiko stratejik dapat muncul terkait Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) yang dibuat oleh bank. Risiko reputasi dapat muncul seandainya Non Performing Loan (NPL) naik melejit melebihi ketentuan yang ada.
Dari kedelapan risiko tersebut kita dapat memilahnya menjadi 3 perlakuan :
  • Menerima dan mengadopsi sepenuhnya pengertian dan paradigma risiko dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga. Termasuk dalam kelompok ini adalah Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik.
  • Menerima dan melakukan modifikasi terhadap beberapa hal prinsip yang tercantum dalam eksposure risiko sehingga dapat diterapkan secara benar dalam lembaga. Kelompok ini diwakili oleh Risiko Kredit dan Risiko Kepatuhan.
  • Tidak mempergunakan sama sekali acuan risiko tersebut dan selama ini yang saya anggap paling tidak dapat diaplikasikan sesuai dengan pengertian dan definisi risiko adalah adalah Risiko Pasar.

Risiko likuiditas kita sepakati sebagai bentuk risiko perbankan yang dapat diadopsi sepenuhnya oleh LKMS. Kemampuan LKMS untuk dapat melakukan pembayaran terhadap kewajiban-kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo merupakan risiko likuiditas yang harus selalu terus menerus dimonitor dan dicermati. Kewajiban jangka pendek adalah kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo kurang dari atau sama dengan 12 bulan. Point-point yang harus dilakukan untuk menangani risiko operasional pada LKMS juga dapat kita ambil dari apa yang dilakukan oleh perbankan. Kegagalan sistem, human error, dan ketidakmampuan karyawan untuk melakukan prosedur secara lengkap dan maksimal merupakan masalah utama yang harus diantisipasi dalam risiko operasional. Masuk dalam ranah pengawasan yang terkait dengan risiko operasional adalah kebijakan akuntansi, pencatatan dan perlakuan aset bank, kegagalan software dalam mengidentifikasi transaksi, dan beberapa aktivitas lainnya. Risiko hukum dapat terjadi terhadap implikasi yang timbul dari perjanjian atau kesepakatan dengan pihak eksternal. Wanprestasi dari salah satu pihak yang membuat kesepakatan menimbulkan potensi terhadap counterparty untuk melakukan tindakan hukum. Tindakan hukum dapat berupa gugatan pidana maupun perdata terhadap lembaga. Permasalahan yang timbul bisa terjadi karena perjanjian pembiayaan dengan pihak luar, perjanjian pembiayaan dengan nasabah, perjanjian dengan penyedia logistik/vendor inventaris, perjanjian sewa bangunan, atau perjanjian lain yang mungkin akan diadakan oleh lembaga kepada pihak lain. Manajemen pasti membutuhkan branding untuk memperkuat image position di mata pengguna jasa/produk. Branding adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh lembaga untuk meminimalkan risiko yang timbul dari permasalahan reputasi. Risiko reputasi dapat muncul sebagai salah satu akibat dari kegagalan mengamankan risiko likuiditas. Ketika penarikan dana nasabah terjadi di luar kebiasaan dan lembaga tidak mampu mengantisipasinya maka muncul efek sampingan berupa permasalahan baru akibat reputasi lembaga yang rusak. Risiko reputasi dapat pula timbul dari faktor internal antara lain dari prosedur atau kebijakan yang berbelit terhadap penanganan satu masalah yang berdampak langsung kepada nasabah. Selain itu integritas dan kompetensi pengelola juga mencerminkan kredibilitas lembaga di kalangan pemakai jasa. Strategi perlu direncanakan dan dibuat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun terkadang manajemen lupa untuk selalu mengawalnya dan melakukan evaluasi secara berkala. Oleh karena itu strategi perusahaan perlu dituangkan dalam satu dokumen tertulis apapun bentuknya sebagai pengejawantahan dari proses untuk mencapai tujuan. Dengan dituangkannya strategi dalam satu dokumen tertulis maka akan lebih mudah bagi manajemen untuk melakukan perubahan strategi apabila diperlukan. Terpaku pada strategi yang telah ditetapkan dan tidak berani merubah strategi merupakan keadaan terbesar yang memungkinkan kegagalan dalam menangani risiko strategi.

Risiko kredit menarik untuk kita perhatikan karena kita harus menyimak beberapa pengendalian risiko yang telah dilakukan oleh perbankan. Kebijakan pemberikan kredit yang sehat, merupakan salah satu contoh implementatif dari pengendalian risiko kredit yang dilakukan oleh perbankan. Penilaian kelayakan pengajuan pembiayaan yang berdasarkan oleh analisa 5C juga merupakan hasil adaptasi dari penerapan pengendalian risiko kredit perbankan. Demikian juga tahapan pengikatan yang dilakukan terhadap masing-masing tipe jaminan juga tidak dapat lepas dari pengaruh bagaimana selama ini perbankan melakukannya. Namun demikian kita tidak boleh lupa, bahwa Syariah adalah salah satu unsur pembangun penerapan manajemen risiko bagi LKMS. Syariah secara tegas membedakan bagaimana menangani pembiayaan yang bermasalah dibandingkan dengan apa yang telah dipraktekkan oleh kalangan perbankan. Tidak adanya unsur keadilan oleh perbankan konvensional dalam penanganan pembiayaan membuat perbedaan yang jelas bagaimana harus memposisikan risiko kredit dalam perspektif LKMS. Ada beberapa sudut pandang yang berbeda dalam memperlakukan manajemen risiko kepatuhan dalam LKMS. Ketika semua piranti hukum dan acuan legal lainnya telah tersediakan untuk perbankan, tidak demikian yang terjadi pada tatanan regulasi untuk LKMS. Jangankan regulasi, usulan tentang draft RUU UKMK saja baru diperbincangkan, apalagi peraturan yang khusus diperuntukkan bagi LKMS sepertinya masih jauh dari harapan. Jamak untuk dipahami bahwa LKMS pun baru kelihatan gaungnya akhir-akhir ini sehingga belakangan cukup dianggap layak untuk dibuatkan regulasinya. Ketika regulasi yang menjadi dasar tuntutan kepatuhan belum dapat diwujudkan akhirnya menjadikan dampak bagi LKMS. Banyak referensi-referensi penyelesaian masalah atau pola ukur perbandingan yang masih mempergunakan acuan yang dipakai oleh perbankan konvensional.

Risiko pasar sudah jelas tidak kita tempatkan sebagai sesuatu yang bisa diadaptasi baik secara keseluruhan maupun secara parsial. Sangat sedikit atau berani bahkan kalau dikatakan bahwa tidak pernah ada LKMS yang mendasarkan tingkat imbalan kepada suku bunga. Demikian juga hanya dalam hitungan permil LKMS yang menempatkan portfolio investasinya pada nilai tukar. Dengan demikian profil risiko pasar adalah “zero risk” bagi LKMS.

Beberapa baris yang dapat kita sampaikan bersama bahwa saat ini adalah saat yang terbaik bagi LKMS untuk menetapkan standar manajemen risiko yang sesuai dengan karakter lembaga. Ketika LKMS disepakati sebagai sebuah bentuk dari Lembaga Keuangan Bukan Bank, sudah jelas kiranya bahwa parameter yang dipergunakan harus berbeda. Pangsa pasar, merupakan satu komando yang jelas bagi terwujudnya pembeda-pembeda turunan lainnya yang secara nyata kita akui bahwa terdapat beda perilaku antara keduanya. Pada saat inilah yakni fase pertumbuhan merupakan saat yang tepat untuk mengkonsepsikan tentang penerapan manajemen risiko bagi LKMS. Di satu sisi, kita untuk sementara masih bisa mengadopsi konsep manajemen risiko perbankan dengan beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan. Di sisi yang lain kita sudah harus berani tampil untuk melakukan analisa dari apa yang sudah terjadi dan membuat forecasting kira-kira bagaimana arah gerak di masa mendatang agar dapat menyajikan formulasi yang tepat untuk menerapkan manajemen risiko yang cocok dan sesuai dengan LKMS.

Baca Lanjutannya...

Tuesday, August 28, 2007

Risk Management, Trade Off Between Risk and Opportunity

Sudah hampir 2 bulan ini saya meninggalkan blog, bukan karena sebab yang tidak material saya terpaksa tidak menulis namun selama kurun waktu tersebut sumber daya saya baik waktu, tenaga maupun pikiran tercurah habis untuk menuntaskan kewajiban saya. Kewajiban berupa keharusan untuk segera menyelesaikan proses pembangunan, perijinan, dan pembiayaan rumah saya yang baru dan alhamdulillah telah saya huni sejak 29 Juli 2007 yang lalu. Namun demikian saya tetap berkomitmen untuk tetap mengikatkan diri dan hati saya agar dapat selalu berkontribusi dalam hal audit (monitoring dan kontrol internal) dan ekonomi syariah. Dalam kepentingan tersebut, saya kembali duduk di depan laptop untuk menulis kata demi kata yang terangkai menjadi paragraf dan Insya Allah dapat berguna bagi diri saya dan teman-teman sekalian.

Manajemen risiko dapat dipahami secara mudah sebagai kemampuan manajemen untuk memahami, mengidentifikasi, menempatkan, mengukur, dan merawat risiko secara proporsional. Proporsional perlu ditempatkan sebagai kata kunci karena mengandung pengertian bahwa risiko terkait dengan pola bisnis perusahaan. Terkait pula dengan struktur organisasi, span of control, dan pembagian tugas serta kewajiban masing-masing personil. Dalam jasa perbankan, manajemen risiko merupakan tanggung jawab bersama antara komisaris dan manajemen. Bank Indonesia menerapkan kebijakan manajemen risiko yang baku terhadap pelaku perbankan di Indonesia. Komisaris melakukan evaluasi secara berkala minimal setahun sekali terhadap konsep kebijakan manajemen risiko yang diterapkan. Di sisi lain secara teknis manajemen risiko berada dalam tanggung jawab pejabat yang setingkat dan setara dengan Compliance Director. Komite Manajemen Risiko harus bersifat non struktural meskipun satuan kerjanya dapat terdiri dari personil-personil struktural dan ditempatkan dalam struktur organisasi. Beberapa bank masih menggabungkan antara unit kerja manajemen risiko dengan unit kerja pengawasan internal, namun bank yang memiliki ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan yang cukup dalam hal keuangan, infrastrukur, dan sumber daya manusia telah memisahkan antara kedua unit kerja tersebut. Kemampuan untuk memahami risiko penting dilakukan agar manajemen menyadari bahwa dalam proses bisnisnya ada risiko yang melekat dan terkait terhadap bisnis tersebut. Sebagai lembaga keuangan risiko yang dihadapi pasti juga tidak jauh dari aktivitas inti lembaga yakni berkaitan dengan pembiayaan dan simpanan. Risiko gagal bayar merupakan general accepted risk bagi lembaga keuangan. Manajemen perlu sadar dan paham bahwa atas bisnis yang dijalankannya mengandung risiko yang tidak dapat dihindari yang itu sesuatu yang harus terus dipantau.

Kemampuan untuk mengidentifikasi direfleksikan oleh manajemen sebagai kekuatan untuk melihat aspek kegiatan apa saja yang dapat menimbulkan risiko, serta mengelompokkan jenis risiko berdasarkan atas kekhasan masing-masing kegiatan. Struktur organisasi tentu berpengaruh terhadap tugas dan kewajiban masing-masing karyawan. Setiap elemen yang ada dalam sebuah perusahaan tentu mempunyai risiko yang berbeda-beda terhadap pekerjaan yang diembannya. Risiko pekerjaan Direktur Utama tentunya berbeda dengan Risiko pekerjaan Manajer Kantor Cabang, begitu pula risiko Teller berbeda dengan risiko pekerjaan Kabag. Marketing. Atas setiap bagian/divisi yang dimilikinya, perusahaan menempatkan risiko sesuai dengan klasifikasi sumber daya yang dimiliki, kompetensi, dan kepentingan perusahaan. Beragamnya kegiatan yang dapat menimbulkan risiko, faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan, terlibatnya transaksi dalam sebuah proses, aspek legal yang harus dipenuhi, merupakan beberapa tolok ukur yang dapat dipergunakan oleh manajemen dalam memberikan penilaian risiko (risk assesment). Seberapa jauh dampak yang terjadi terhadap perusahaan juga memberikan pertimbangan bagi manajemen untuk menilai apakah satu kegiatan berisiko tinggi, moderat, atau rendah. Tim pengendalian internal melakukan review berkala untuk menentukan profil risiko yang dimiliki oleh perusahaan. Perubahan paradigma bagaimana memahami dan memandang manajemen risiko menuntun manajemen untuk mengambil posisi akan membawa ke mana risiko-risiko yang selama ini dialami dan dihadapi. Merubah risiko untuk menjadi peluang merupakan tantangan yang harus dijawab oleh praktisi maupun pemerhati masalah manajemen risiko. Perubahan inilah yang kemudian direfleksikan oleh manajemen sebagai upaya untuk merawat risiko yang timbul.

Praktek-praktek manajemen yang "old fashion" harus bergerak sedikit demi sedikit untuk berkenalan dengan apa yang dinamakan manajemen risiko. Dahulu ketika praktek bisnis belum sekompleks sekarang, belum timbul gejolak ekonomi, belum banyak faktor eksternal yang mempengaruhi langkah manajemen, manajemen risiko dicap sebagai makhluk aneh yang justru akan membebani manajemen dengan pekerjaan baru. Untuk melakukan perubahan membutuhkan energi yang luar biasa dan yang terpenting adalah kesadaran yang ditunjang oleh kemauan untuk berubah. Mau tidak mau apabila menginginkan bisnis yang dijalankan bisa survive dan keluar menjadi pemenang, manajemen risiko sudah perlu diperkenalkan sedini mungkin terhadap manajemen, diadaptasikan, disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dengan tujuan agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pengejawantahan tata kelola perusahaan yang baik dan benar (good corporate governance) dilakukan melalui penerapan manajemen risiko sehingga tidak terjadi kesenjangan antara konsep yang sifatnya teoritis dengan praktek tata kelola yang berlaku implementatif. Manajemen risiko, pengendalian dan sistem pemeriksaan internal merupakan komponen esensial sebagai pembentuk konsep good corporate governance.

Masing-masing bisnis tentunya mempunyai penilaian risiko yang beragam, tergantung dari kondisi internal dan eksternal yang membentuk pola operasional bisnis tersebut. Seperti dicontohkan di atas perbankan sebagai bisnis keuangan mempunyai karakteristik "high regulated" sehingga perbankan mempunyai karekteristik risiko yang diseragamkan oleh Bank Indonesia agar pengawasan bisa menjadi lebih mudah. Berbeda misalnya dengan perusahaan telekomunikasi yang memiliki profil risiko sendiri atau perusahaan asuransi yang tentunya mengolah manajemen risikonya sesuai dengan lingkungan bisnisnya. Komisaris, direksi, dan jajaran manajemen pusat harus merumuskan seperti apa pola manajemen risiko yang akan diterapkan untuk selanjutnya kebijakan manajemen risiko tersebut diteruskan ke segenap lini dan elemen perusahaan. Untuk tetap memelihara sikap optimistis dalam melihat peluang usaha, manajemen jangan selalu mempersepsikan risiko sebagai sesuatu yang negatif. Anggapan skeptis terhadap risiko akan semakin membuat manajemen mengambil jarak dengan konsep manajemen risiko. Ada perumpamaan nyata, di mana nyamuk berani mempertaruhkan nyawanya mati ditepuk ketika sedang menghisap setetes darah manusia. Pasti nyamuk sudah mempertimbangkan risiko yang akan dialaminya sebelum menggigit manusia. Demikian juga ketika sebuah saat manajemen berani mengambil risiko untuk tidak membagikan seluruh keuntungan dan sebagian besarnya dialokasikan untuk pengembangan cabang. Dalam kondisi demikian manajemen berani mengambil risiko untuk tampil tidak populis di mata investor dan shareholder dengan tidak mendistribusikan pendapatan sebagai dividen. Namun demikian tentunya sudah diperhitungkan bahwa pada saat itu manajemen lebih membutuhkan dana untuk pengembangan jejaring kantor cabang daripada sekedar mempercantik diri melalui pembagian dividen.

Dalam lembaga pembiayaan ada contoh yang menarik, ketika HSBC, ABN Amro, dan StanChart berani memberikan kredit tanpa agunan untuk nasabah mereka. Dulu banyak kalangan perbankan yang tersontak kaget dan berpandangan negatif ketika ketiga bank asing tersebut dinilai terlalu berani mengambil risiko. Awam pasti menilai bahwa tidak ada kebijakan yang sehat pada ketiga bank tersebut dalam pemberian kredit, sehingga sedemikian beraninya mengalokasikan portfolio kreditnya untuk produk Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang mereka ciptakan. Namun sesungguhnya tidak demikian, mereka melakukan berbagai macam analisa mulai dari pembatasan portfolio untuk jenis kredit tersebut sampai dengan rate of return per portfolio yang ingin dicapai. Salah satu pertimbangan mereka berani memberikan KTA karena dapat memperoleh dana yang murah sebagai sumber pembiayannya. Cost of fund yang timbul dari sumber dana tersebut diproyeksikan tidak akan melebihi pendapatan maupun risiko yang timbul dari kredit yang diberikan tanpa agunan. Bukannya tapi risiko tapi sesungguhnya mereka telah berhasil memahami, mengidentifikasi, menempatkan, sekaligus merawat risiko sehingga apa yang tadinya dicibir orang karena dinilai terlalu berisiko justru menjadi lumbung pendapatan bagi mereka.

Kegiatan pemerintah untuk merubah penggunaan minyak bumi ke gas LPG sebagai sumber energi dapat dijadikan contoh referensi sebagai salah satu pembelajaran model manajemen risiko. Risiko yang paling jelas adalah risiko politik yang timbul, ketika sebagian oposan mempergunakan kesempatan ini untuk menghunjam kebijakan tersebut yang diputarbalikkan sehingga cenderung tidak berpihak kepada rakyat lemah. Risiko anggaran juga timbul dalam jangka pendek ketika pemerintah diharuskan untuk menyediakan dana promosi dan iklan yang besar untuk sosialisasi dimulai dari pengadaan kompor dan tabung gas yang gratis sampai dengan pembuatan iklan layanan masyarakat di berbagai media elektronik. Risiko operasional juga timbul dalam perspektif semua sumber daya manusia di berbagai jajaran departemen akan lebih bekerja keras untuk melakukan pekerjaan besar ini. Mereka yang tadinya hanya bekerja biasa-biasa saja, namun dengan adanya perubahan ini mereka pasti akan diberdayakan juga sebagai agent of development bagi pemerintah. Belum lagi timbul pekerjaan baru bagi Depkominfo untuk menggandeng para pemuka agama, pemuka adat, dan tokoh masyarakat untuk tampil bersama mengkampanyekan pentingnya konversi sumber daya energi ini. Di penilaian risiko yang lain risiko ekonomis juga bakal muncul dalam jangka pendek ketika pemerintah mau tidak mau harus memperkecil volume ekspor LPG ke Jepang sebagai bentuk perimbalan untuk mencukupi kebutuhan energi dalam negeri. Pendapatan akan berkurang sangat drastis karena selama ini Jepang dikenal sebagai pasar utama ekspor LPG dari Indonesia. Namun demikian pemerintah menurut pandangan penulis sudah melakukan risk assessment yang tepat ketika berkehendak untuk merubah kondisi ini. Dalam konklusi jangka panjang yang berkesinambungan akan lebih bermanfaat bagi bangsa Indonesia seandainya dapat dengan segera memindahkan sumber daya energi dari minyak tanah ke gas bumi sehingga dengannya pemerintah berani menghadapi risiko yang ada untuk tujuan yang lebih besar.

Perkembangan ekonomi yang makin global membuat peluang usaha dan timbulnya risiko dalam sebuah perusahaan tumbuh bersama-sama. Hal yang tidak dapat dihindarkan tersebut membuat perusahaan terus meningkatkan unsur pengendalian internal dan manajemen risiko untuk kelancaran dalam merebut peluang usaha dan membuat kerangka pengaman agar risiko dapat diperlakukan secara aman. Selain untuk memperkuat infrastruktur, manajemen ingin memastikan bahwa sistem kerja, tekhnologi, dan sumber daya manusia tersedia dan dapat dihadirkan secara lengkap untuk menjawab tuntutan perlunya sistem pengendalian internal dan manajemen risiko yang komprehensif dan integral.

Baca Lanjutannya...
Template Designed by Douglas Bowman - Updated to New Blogger by: Blogger Team
Modified for 3-Column Layout by Hoctro